3B. Nasi Padang

5 0 0
                                    

(Selamat datang di new part! Terimakasih sudah membaca sampai sejauh ini! vote yaa)

Dokter Galen mengernyit "hah?." Ia tak paham.

"Ck itu dilihat dong dok, pasiennya udah sadar."

"Yakan kamu tinggal bilang gitu daritadi kenapa harus pake kode mata segala sih."

Tak menyahuti ocehan dokter Galen lagi, ia tidak ingin berdebat sekarang depan pasien yang baru sadar dari masa pingsannya.

"Boleh saya tau nama kamu? Dan tolong ceritakan kejadian kenapa kamu bisa pingsan sampai harus dibawa kesini." Ia memasangkan kembali stetoskopnya, mungkin ia bersiap apabila ada gejala yang akan terjadi. Entahlah.

"Aku ga tau kenapa dok tapi tiba-tiba mataku gelap terus dari situ aku gak tau apa-apa lagi."

"Ssh awh."

"Eh eh kenapa kamu sini diban-."

Aku terkejut melihat tanganku yang telah didahului oleh tangan sigap Dokter Galen. Air mukanya terlihat sangat khawatir.

"Kepala aku sakit banget dok."

"Yang mana, bagian mana?." Ia berusaha melepas tangan si pasien yang terus terusan memegang kepalanya.

"Aduh dok nyut-nyutan banget kepala saya hiks hiks."

Sedangkan Asha yang tadinya tetap berdiri disamping Dokter Galen akhirnya memundurkan langkahnya perlahan karena ia pikir jika ia tetap diposisi awal akan mengganggu kebebasan Dokter Galen untuk memeriksa pasiennya.

Dan benar saja setelah Asha memundurkan langkahnya Dokter Galen menggeser posisinya ke sebelah kiri. Lebih dekat dengan pasien itu.

Ia memilih berdiri disebelah Kak Rifki yang sedari tadi diam saja diruangan itu sambil bermain ponselnya. Sedikit kulirik ternyata ia bermain game online, bukan aku bukan kepo tapi aku ingin tahu saja apa yang ia lakukan sampai ia bisa tidak melihat adegan didepannya itu.

"Eh neng Asha kenapa neng?." Ia mematikan ponselnya dan menoleh ke arahku.

Aku menggaruk kecil tengkukku "Gapapa Kak, saya minggir aja karna ga tau harus apa disana hehe."

"Ohh ya udah disini aja sama saya. Biarin pak bos yang nanganin." Ia menggeserkan kursi untukku disebelahnya.

"Makasih kak."

"Ashiap neng, neng masih SMA udah cantik begini gedenya gimana ya? Hahaha."

Baru saja aku ingin membalas ucapannya suara tegas seseorang menyebalkan muncul lagi.

"Asha, kamu kan saya suruh diam disebelah saya kenapa jadi disana? Sini cepat!"

'Lah tadi gue disana didiemin, ya gua pindahlah gimana sih!'

"Sini cepet, betah banget disana kayaknya." Ia masih menampakkan sorot mata yang menyebalkan. Tajam tapi seperti ada yang aneh.

"Udah sana neng ke pak bos, kali aja dia butuh sesuatu."

Rasanya malas sekali menggerakan kaki kesana. Posisi dudukku sudah sangat nyaman, namu aku kembali melihat sorot matanya yang seakan akan ingin menelan orang hidup-hidup. Menyebalkan lagi-lagi.

Membuatku terpaksa jalan kesana dan kembali berdiri disisi kirinya lagi.

"Harus disuruh sama Rifki dulu baru kamu nurut kesini ya? Kamu naksir sama asisten saya?."

'Apaan sih ga jelas nih manusia.'

Aku menatap sorot matanya kesal. Bisa-bisanya ia berpikir seperti itu, padahal ia sendiri yang membiarkanku layaknya debu dipojokan.

"Maaf dok, saya kira tadi saya mengganggu kegiatan dokter untuk meriksa."

"Nggak, buat saya kamu ga mengganggu apapun, cukup disisi saya sudah cukup."

'Eh' Asha merasa sedikit aneh dari ucapan tadi. Sangat klise bukan.

Ia tersadar untuk kembali menanyakan pasien yang telah terbaring di ranjang itu. Nampaknya sedari tdi ia menyimak percakapan yang aku dan Dokter Galen bincangkan.

"Halo nama kamu siapa? Buat proses data." Tersenyum aku sambil membetulkan selimut yang berantakan.

"Alya."

Maaf sepertinya aku tersadar nada bicaranya berbeda dengan nada yang ia bicarakan kepada dokter Galen tadi. Mungkin tadi ia berbicara lembut dikarenakan kepalanya sedang sakit.

"Saya duduk dulu ya, kamu tolong data Sha. Habis itu kasih ke saya."

Baru kuingin menyuruhnya tetap disampingku agar aku bisa mendengar jelas perbandingan suaranya saat berbicara denganku dan dengannya tapi ia keburu berjalan kearah kursinya.

Pada akhirnya aku tetap membuka lembaran kertas baru untuk dituliskan biodatanya, "Maaf berat badan dan umur kamu berapa Alya?."

"56 ,umur 16 aduh bisa tolong ga banyak tanya gak sih pusing tau ngga?." Ia menarik selimutnya dan memunggungiku.

'Sabar orang sabar jodohnya aktor.'

"Maaf ya, udah segini aja kok. Terimakasih ya."

Aku berjalan ke meja dokter Galen dan menyerahkan hasil catetanku seperti perintahnya tadi.

"Ini dok, diagnosisnya tidak usah ditulis kan?."

"Iya, ga usah makasih ya. "

Setelah ia menerima lembaran kertasku, aku berniat meniduri ranjang kosong yang ada di seberang ranjang Alya. Namun tidak seindah ekspektasiku bahwa,

"Asha kamu duduk disebelah Alya ya, temenin dong kali aja dia butuh sesuatu jadi cepet oke."

Kutahu kalian semua tahu siapa orang yang berbicara itu. Ya dia Dokter Galen yang tengah duduk dikursi kebanggaannya sambil bermain ponselnya. Bahkan saat ia memintaku utnuk duduk disisi ranjang Alya ia tak melihatku sedikit pun.

Makin menyebalkan sekali dia.

"Baik dok." Dan ya, lagi-lagi aku hanya bisa meng-iyakan apa yang ia perintahkan.

Entahlah semua ekspektasi yang kubayangkan menjadi asisten tindakan dokter seperti di drakor hilang begitu saja. Tapi jujur masih ada satu hal yang mana tidak membuat ekspektasiku tidak hancur sekali.

Fisik dari Dokter Galen. Ia tinggi, berkulit sawo matang, beralis tebal dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya, namun tetap akan hilang jika ia memperlihatlkan sisi keahlian menatapnya yang tajam.

Aku duduk disebelahnya dan aku merasa bahwa Alya telah tertidur. Mungkin ia berbicara ketus seperti tadi karena mengantuk. Aku jadi merasa bersalah telah berpikir yang buruk padanya.

Aku mengeluarkan ponselku yang sedari tadi ku matikan dayanya. Terlihat berbagai notifikasi chat muncul. Terutama Violet yang menspamku hingga 126 bubble chat.

Isinya hanya menanyakan kapan aku balik kekelas untuk menemaninya, instagram dokter yang di uks, dede gemes yang akhirnya ada yang meminta akun sosmednya, dan guru yang memberikan tugas yang sangat banyak serta chat-chat kesepian lainnya yang menggelikan.

Aku tidak berniat untuk membalas chatnya, biarkan saja sikuning itu mengambang hahaha.

"Ehem dokter Galen." Kami semua menoleh kearahnya yang sedang terlihat gelisah, kepalanya ia gerakan kearah tak tentu.

Aku yang berada didekatnya inisiatif untuk memegang tangannya agar tidak lagi-lagi memegang kepalanya seperti tadi.

"Suhu badannya tinggi ternyata, Dok, Alya suhunya tinggi."

JANGAN LUPA VPTE DAN COMMENT!

Terimakasih sudah baca sejauh ini! ditunggu next partnya!

-Have a good day <3

GALENASHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang