01. Alim

27 2 1
                                    

Bagai permata dalam cangkang, hidup didalam keluarga yang harmonis sungguh menyenangkan. Mempunyai orang tua yang pengertian, perhatian, dan baik hati, serta keuangan yang sangat mencukupi. Kurang apa lagi hidup gadis bernama Zafasha Humaira Adjie ini, tak pernah kekurangan kasih sayang, dan tak pernah kekurangan bekal sekolah. Siapa yang tak iri dengan hidup penuh cahaya seperti keluarga bapak Adjie dan ibu Zahra bersama kedua anak mereka. Zafasha, dan Zakir.

"Morning, anak-anak bunda!" Seru Zahra, menyambut kedua anak-anak nya dengan sepiring nasi goreng enak buatannya.

"Morning, Bunda!"

"Eh uang yang kepinjem, nanti sore Ayah kirim. Maaf ya, bang! Kemarin uangnya habis beli baju sama Zafa." Ujar Adjie ditengah-tengah makannya. Ah sungguh, anak bungsu nya memang hobi menghabiskan uang.

"Terus uang bulanan Zafa, gimana?" Tanyanya tak bersalah.

"Loh ya habis kemarin!"

Mendadak bibir berwarna merah muda dengan olesan sedikit lip tint itu, menjadi memaju kedepan. Ini bukan keadilan. Zafa harus memberontak.

"Udah jangan cemberut, masih pagi. Hari ini Abang yang antar, diongkosin goceng!" Rayu Zakir, tak tega melihat wajah melas milik adiknya.

"Goceng pake beli cilok aja abis!"

Zakir hanya tertawa gemas. Dia melihat jam lalu memastikan akan sampai dirumahnya dengan tepat setelah mengantar Zafa. Laki-laki itu sangat takut pulang telat, istrinya menyeramkan. Hari ini dia sengaja bersarapan dirumah Bundanya, kedua wanita kesayangannya itu selalu berebut atas hak Zakir makan dimana. Jadi hari ini, Zakir memutuskan untuk sarapan dirumah Bunda Zahra sekali-kali.

Cuaca pagi hari yang mendukung, membuat mood Zafa yang tadinya sangat buruk menjadi membaik. Udaranya sangat segar, tapi menurut gadis itu tetaplah udara malam yang menjadi pemenangnya. Kicauan burung pun ia lebih menyukai kicauan burung malam, dari pada burung-burung yang berkicau menyambut pagi hari. Sedikit horror, namun indah menurutnya.

Mobil milik Zakir berhenti didepan gerbang sekolah besar, ini juga merupakan sekolah bekas Zakir saat SMA dahulu. Bintang 100 bagi SMA Saturnus, cara pengajaran mereka tak sama sekali membuat murid-muridnya menjadi stress.

"Punya pacar gak?" Tanya Zakir tiba-tiba.

"Gak minat pacaran!" Jawab Zafa tenang.

"Halah, paling gak ada yang mau ya?"

"Abang sialan!"

Dari pada tersulut emosi, Zafa turun sambil mengacungkan jari tengahnya kepada Zakir. Lalu berlari kecil menuju kelasnya yang berada dilantai tiga karena bel masuk akan berbunyi sebentar lagi.

Namun ternyata tidak. Semua murid disuruh berkumpul di masjid sekolah, untuk melaksanakan shalat Dhuha harian. Ah untung saja Zafa menyimpan satu mukena pemberian Bunda nya di loker, jadi dia tak perlu repot-repot mencari pinjaman mukena.

"Lo liat Zaf, itu Davi! Pakaiannya santriable ya?" Tunjuk Sonya, salah satu sahabat dekat Zafa dikala mereka sedang menggelar sajadah.

"Sok alim, kayak bapak-bapak gak sih?" Ucap Zafa.

Jujur saja, menurut Zafa shalat disekolah bagi laki-laki pada umumnya menggenakan seragampun jadi. Tapi lihat Davi, dia rela berpenampilan serapih mungkin untuk melaksanakan shalat berjamaah disekolah. Tak jarang laki-laki itu menjadi imam juga.

"Disaat semua siswi ngidam-ngidam seorang Davi Abifatih, tapi lihat! Lihat Zafa! Malah ngatain dia mirip bapak-bapak! Lo gila?" Oceh Cellse.

"Eh lo berdua emang denger dari mana si Davi jadi idaman?" Tanya Zafa tak percaya. Apa benar sosok seribet walau rapih seperti Davi itu menjadi idaman banyak gadis-gadis? Menurut Zafa tidak, contohnya dia tidak mengidamkan sosok itu.

Hug Me in The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang