Beberapa hari berlalu..
Soal rumah yang mungkin menjadi lumayan angker bagi Zafa yang sering ditinggal oleh Davi ketika menjelang Maghrib hingga Isya. Membuat gadis itu jadi parno jika ditinggal sendirian dirumah.
Zafa sampai menangis kejang meminta siapapun untuk menemaninya dirumah, tapi ia enggan memperkerjakan pembantu apalagi wanita, dan ia juga merasa terganggu jika laki-laki. Davi heran, sebenarnya apa sih mau istrinya ini?
Hingga Akram pun menjadi sasaran, tapi Davi perlu izin Umi Gina terlebih dahulu setiap membawa Akram kerumah untuk menginap sekedar menemani malam Zafa yang sedikit horror. Jadi tak setiap hari, Akram bisa tidur dirumah milik Davi dan Zafa. Hanya sesekali saat Umi Gina membolehkan.
Malam ini, tak ada Akram, tak ada Davi. Hanya ada Zafa dengan selimutnya. Gadis itu bersembunyi dari seusai shalat Maghrib dibalik selimut, menunggu Davi kembali, sembari terus berdzikir seperti apa yang di ajarkan Akram malam kemarin.
"Kakak kalau takut dzikir dan berdoa aja, minta pertolongan Allah tetap menjaga kakak yang sendirian dirumah ya?" Itu, kata-kata Akram yang menasehati Zafa ketika dia menginap semalam saat Davi lembur di kantor bersama Ghifar kemarin.
Belakangan, Davi memang sudah aktif kerja. Bahkan sampai lembur.
"Sonya, Cel, lo pada tau? Gue sekarang dirumah sendirian dibawah selimut. Nunggu kak Davi pulang dari masjid rasanya lama banget!" Ujar Zafa yang sedang merekam voice note di grup chat miliknya dengan para sahabat.
"Salah siapa beli rumah segede gaban? Yang idup didalamnya cuma berdua doang lagi!" Ejek Sonya.
"Akram kenapa disuruh tinggal disitu aja, Zaf?" Tanya Cellse.
"Gue sama kak Davi masih sekolah. Kalaupun minggu besok kak Davi lulus, ya dia kuliah sambil kerja, sama sibuknya. Tapi iya, gue pengen banget Akram tinggal sama kita, dia tuh nemenin banget kalau gue lagi sendirian. Tapi gue mah apa atuh, masih serbuk sari kopi buat jaga Akram, yang ada Akram jaga gue nanti!" Cerita Zafa.
"Yeuh, abis elo bisanya cuma nyusahin Akram sih! Malu banget di ceramahin bocil SD kemarin lo, Zaf, Zaf!" Balas Sonya.
"Akram bukan sembarang bocil, sissttt!"
Fokus Zafa teralih, dia menutup handphone nya terlebih dahulu. Samar-samar Zafa mendengar suara orang yang menaiki satu persatu tangga dirumah.
Zafa menduga-duga itu adalah Davi, lalu ia segera turun dari tempat persembunyiannya lalu berjalan keluar untuk mengecek. Siapa tahu bukan Davi kan? Tidak ada yang tahu.
Mata Zafa menyusuri tangga, ia tak menemukan Davi disana.
Tapi biasanya, Davi sering mengucapkan salam ketika masuk kedalam rumah. Apa karena keasikan chatting Zafa jadi tak mendengar salam Davi?
"Assalamualaikum ya Humaira-ku! Kok berdiri didepan pintu?" Ucap Davi tiba-tiba, dari arah belakang Zafa berdiri. Laki-laki itu memegangi pundaknya.
Zafa sedikit terkesiap ketika Davi tiba-tiba datang dibelakangnya, tapi itu tidak terlalu jump scared, Davi masih berperikemanusiaan.
"Wa'alaikumsalam, kok dari arah sana sih?'
"Habis ambil kayu putih, hidung aku mampet, ini bahu aku rasanya pegel banget.. badannya mau remuk, seremuk pas liat foto kamu fotbar sama Hafiz di acara program sekolah kemarin!" Oceh Davi.
Flashback, baru-baru ini sekolah memang sedang mengadakan program. Dan kebetulan saja entah ada angin apa, poster acara itu terpampang jelas foto Hafiz dan Zafasha yang tengah memegang slogan acara tersebut. Davi tak tahu persis acara apa yang diikuti Zafa, dia akan lulus sebentar lagi, jadi kurang aktif lagi disekolah.
Tapi yang penting, adalah hatinya yang retak ketika melihat foto sang kekasih terpajang di publik bersama laki-laki lain. Davi benar-benar berubah menjadi sosok puitis yang berasa paling tersakiti, padahal Hafiz juga adalah temannya ketika lomba Tahfiz tahun lalu.
"Kamu gak usah bahas fotbar lagi! Mau aku besok fotbar sama anak lainnya diprogram-program baru? Biar jantung kamu dag dig dug ser tuh pas liat aku sama yang lain!" Ancam Zafa.
Davi melangkah mendekat, "gak perlu, gini aja aku udah dag dig dug kok!" Bibirnya mengecup sekilas kening Zafa, lalu meninggalkan gadis itu yang masih terpaku dalam diam kedalam kamar.
Lelah dengan tingkah laku Davi, membuat Zafa tak heran jika tiba-tiba Davi menjadi seperti itu. Seperti nya kebanyakan bergaul dengan Kalvin.
"Aku pijitin boleh?" Tawar Zafa, duduk dibelakang Davi yang tengah memijat-mijat pundaknya sembari duduk ditepi kasur.
"Pundak kamu kenapa?" Tanya Zafa, ketika Davi mengangguk-angguk mengiyakan.
"Gatau aku, pegel aja, terus malah jadi pilek gini!" Cerita Davi, menghisap aroma minyak kayu putih dalam-dalam.
"Badannya juga anget. Kamu jangan kecapekan, nanti sakit!"
"Pusing aku sekarang, pusing menatap kecantikan kamu dari cermin kaca lemari. Bidadari turun dari mana sih ini?" Rayu Davi, yang malah mengalihkan pembicaraan.
"Kak!! Jangan kecapekan ya? Itu lemari lagian kenapa taruh disitu?" Tanya Zafa heran.
Lemari itu berada disebelah kiri kasur, dan Davi yang sedang menghadap kearah situ, membuat Zafa dibelakangnya juga ikut terpampang jelas dicermin tersebut karena ukurannya yang lumayan besar.
"Iya cantik, aku gak kecapekan. Cuma kehujanan kemarin!"
"Kenapa gak bawa payung?" Seru Zafa.
"Kan aku bukan BMKG, gak bisa memprediksi hujan!"
Zafa terkekeh tak jelas. Humor seperti itupun ia masih tak bisa menahan tawanya. Seperti nya hukum humor dollar tak tertancap pada diri Zafa.
"Aku kebawah dulu ya? Mau bikinin kamu jahe anget!" Pamit Zafa, beranjak dari duduknya.
Tapi dengan sigap Davi menarik lengan milik Zafa, dan menyuruh gadis itu tetap berada disampingnya untuk mendekapnya erat dari belakang.
"Gapapa, aku cuma anget dikit! Kamu juga pasti capek."
"Yaudah sini, aku peluk ya?" Zafa mendekap balik Davi, lalu mengusap-usap punggungnya dengan perlahan. Rasa hangat dari tubuh Davi yang agak kurang sehat terasa begitu tajam menusuk kulit Zafa.
"Jangan kecapekan ya.." lirih Davi, merasakan kenyamanan saat Zafa mengelus rambutnya lembut.
"Yang ada kamu, ini jadi sakit kan gara-gara kecapekan?"
"Bukan!"
Zafa memutar matanya malas. Davi ini sangat tak terima jika dirinya mengakui atau bahkan diakui capek, selalu berlagak baik-baik saja padahal ia juga manusia yang kenal lelah.
"Nanti habis aku lulus, kamu jangan deket-deket sama Agil, ya? Soalnya aku udah gak bisa mantau kamu." Ujar Davi.
"Iya, aku males juga deketin gituan mah!''
"Ummi kemarin bilang, Zafa jangan kecapekan dirumah, kenapa gak pakai ART aja, biar kamu gak sendirian juga, gitu katanya!" Davi, berusaha mengingat-ingat semua percakapan antaranya dan Fatimah sore kemarin.
"Gak mau, pakai ART itu ribet. Belum tentu kita tahu kan itu ART gimana nantinya!" Kata Zafa tak setuju. "Dari pada mikirin ART, mending kita pikirin baju couple warnanya doang buat kelulusan kamu!"
Ah iya, Davi sampai lupa baju untuk kelulusannya. Ia bahkan belum menyiapkan apa-apa, hanya menyiapkan diri untuk masuk kampus, dan mengusahakan agar waktu kuliahnya itu tak terlalu lama supaya bisa fokus dengan pekerjaan. Davi tak memiliki cita-cita, cita-cita nya hanya meneruskan perusahaan Ghifar, Abi-nya, atau sekedar meneruskan cita-citanya sebagai arsitek yang tak terlalu ingin juga.
Entah lah, Davi juga heran pada dirinya sendiri. Memilih jalan hidup adalah bagaimana alur berjalannya saja, Davi mensyukuri semua pekerjaan yang bisa ia lakukan.
Berbeda dengan Zafa yang ingin memiliki toko kue lucu, dan mempunyai skill memasak diatas rata-rata. Sederhana, namun itu impian besar Zafa. Apalagi toko kue nya ramai oleh pengunjung setiap harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hug Me in The Dark
Teen FictionMenerima sebuah takdir dengan ikhlas ada cara mensyukuri hidup yang mudah, tak perlu terlalu sibuk mencari takdir yang lebih baik jika yang sudah cukup baik ada didepan mata. Hidup hanya untuk mengejar Ridha-Nya, membahagiakan orang tua dan membangu...