Dihari pernikahan, tak banyak tamu yang datang, hanya beberapa rekan kerja kedua keluarga dan beberapa kerabat dekat. Pernikahan yang begitu tertutup, tapi walau begitu, itu semua tak membuat Davi menjadi lebih tenang, dia sangat gugup pagi ini. Gugup melihat keadaan sekitar, gugup menghafalkan qobul yang akan ia ucapkan, dan gugup dalam hal lainnya.
"Jangan gugup ya? Rileks, nanti hadiahnya liat si cantik! Masih dandan dia!" Ucap Fatimah menenangkan anak semata wayangnya.
"Tiba-tiba pusing aja, tapi gapapa kok!"
"Qobiltu--"
"Ssttt Ummi, Davi masih inget kok!"
"Yaudah ayo siap-siap, ini benerin dulu bajunya. Malu ketemu sama si cantik kamunya tremor gini nanti!"
Sedangkan diruang rias, wajah cantik Zafa yang masih dipoles dengan telaten oleh tukang rias ditekuk seakan tak senang. Seperti orang kecewa dengan suatu hal.
Ya betul, Zafa kini memang sedang kecewa. Kecewa tak bisa menyaksikan secara langsung Davi calon suaminya yang sedang melaksanakan ijab qobul didepan sana, sementara dirinya masih berkutat dengan riasan yang tak kunjung selesai-selesai.
Dia ingin protes, tapi ternyata memang prosedur nya sudah dari sana nya seperti ini. Tak bisa diganggu gugat.
Kata tukang rias yang kini bersama Zafa, dia masih bisa mendengarkan ijab qobul nya dari sini walau tak bisa menyaksikan secara langsung.
Zafa berlari kecil untuk menguping ijab qobul dari pintu ruangan rias, ketika ia sampai ternyata ijab qobul sudah dimulai. Sayup-sayup terdengar suara Davi dari luar sana.
"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan!"
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"SAHHHH!!!"
Sekujur tubuh Zafasha melemas, barusan? Barusan adalah suara Davi yang kini sudah berstatus suaminya?
Ternyata mendengarkan secara tak langsung seperti ini juga Zafasha tak mampu, apalagi harus berada disisi Davi.. Zafa tak yakin akan mampu menyaksikan semua itu.
Rasanya lega, lega mendengar Davi mengucapkan qobulnya dengan sekali tarikan nafas. Di sisi sana pun sama lega nya, Davi bangga atas dirinya sendiri karena bisa mengatasi groginya didepan banyak orang. Dan jangan lupa, ia juga tak sabar menunggu istrinya itu keluar dari balik pintu rias pengantin.
"Alhamdulillah!"
***
"Teh, aku udah boleh keluar belum?"
"Belum, masih doa. Sabar!"
Beberapa menit kemudian..
"Teh?"
"Sabar, toh!"
"Greget..."
"Greget, apa mau cepet-cepet dicium suami mu?"
"Dua-duanya..."
"Idih, mentang-mentang udah halal!"
Beberapa saat kemudian, beberapa petugas yang ada menyuruh Zafa bersiap-siap untuk keluar dari ruangan. Mereka membenarkan ekor baju pengantin Zafa agar terseret dengan rapih, dan tukang rias melakukan beberapa polesan terakhir mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hug Me in The Dark
Teen FictionMenerima sebuah takdir dengan ikhlas ada cara mensyukuri hidup yang mudah, tak perlu terlalu sibuk mencari takdir yang lebih baik jika yang sudah cukup baik ada didepan mata. Hidup hanya untuk mengejar Ridha-Nya, membahagiakan orang tua dan membangu...