3. 🤡

1.7K 215 46
                                    

"Mih, cuma empat bulan sampe kelulusan."

"Empat bulan itu bukan 'cuma', Vander!"

Rasanya Cendi ingin menangis saat ini. Anak sulungnya itu tetap sekeras batu. Sejak dokter keluar setelah menyampaikan hasil CT Scan, perdebatan masih berlangsung.

"Vander mau selesaiin apa yang harus Vander selesaikan. Habis itu janji bakal nurut sama apapun penanganannya."

"Terserah! Amih capek!" wanita berumur namun masih tampak muda itu pun tak kuasa lagi menahan, sehingga berlalu keluar.

Tidak Vander ketahui bahwa sang ibu kini meluberkan pertahanannya. Air mata meluruh deras, mengaliri pipi cantiknya. Bahu Cendi bergetar, menangis tersedu di bangku dekat kamar rawat Vander.

Kondisi seorang Ibu yang tampak runtuh, tidak luput dari Mizan dan Jihan yang baru tiba masih mengenakan seragam sekolah. Segera mereka hampiri.

"Mih," panggil Jihan setelah duduk seraya mengelus lengan ibunya.

Cendi turunkan kedua tangan yang menutupi wajah, lantas memeluk sang putri untuk meluapkan sesak. Sementara Mizan berdiri canggung, bingung sebab baru pertama kali melihat Amih menangis begitu pedih.

"Kenapa? Ada apa?"

Butuh beberapa saat untuk Cendi menjawab Jihan. Setelah dia rasa cukup lalu menetralkan napas, dia berucap parau, "Kakakmu itu keras kepala banget. Amih emosi sendiri rasanya."

"Hasilnya udah keluar?"

Sejenak Cendi terdiam. Bergantian dia tatap anak kembarnya. Tampak dilanda bimbang namun juga berat untuk sekedar menjawab pertanyaan sederhana itu.

Mizan menempati bangku di sisi lain sang Ibu. Merasa butuh mendapat jawaban, dia berucap seraya menatap tepat pada manik berselimut getir, "Kita udah gede, mih. Kalo biasanya Apih Amih ngandelin Kak Vander doang, sekarang Mizan sama Jihan juga udah bisa diandelin. Kita bukan anak kecil lagi yang nggak perlu tau urusan orang dewasa. Kita udah cukup mateng buat bisa paham."

Tangan Cendi bergerak menggenggam milik anak kembarnya seolah meminta kekuatan.

Mantapkan hati dan pikiran, Cendi sampaikan fakta menohok. "Tumor otak. Ada parasit di kepala kakak kalian," ucapnya bergetar.

Hati siapa yang tidak nyeri mendengar berita buruk tentang orang terkasih? Tidak pernah sekalipun Jihan dan Mizan pikirkan sebuah monster bersarang pada tubuh kakaknya一pada orang sebaik kakaknya.

Beberapa menit ketiganya habiskan waktu dalam diam, hingga dokter muda yang mengenalkan diri sebagai neurologist datang bersama seorang perawat. Kemudian mengekorinya masuk untuk menemui Vander.

"Halo selamat siang Evander," sapa dokter itu ramah. "Gimana hari ini? Ada keluhan?"

Sedangkan yang disapa tersenyum kikuk, "Enggak dok."

"Tadi sudah bertemu dokter bedah saraf?" tanyanya lagi dan diangguki oleh Vander. Lalu dilanjutkan perkenalan diri, "Saya Dr. Sakti Narendra, neurologist yang akan menangani sekaligus mendampingi pengobatanmu."

"Saya ini anaknya temennya Ayah mu lho."

"Hah?" raut Vander cengo dengan dahi berkerut. "Ulangin ulangin."

"Jadi Ayahmu punya temen, nah saya anak temennya Ayahmu."

"Ooooh. Yaya paham," kata Vander pada akhirnya.

Si Dokter menggeleng lalu melakukan pemeriksaan dasar dan disampaikan ke perawat untuk dicatat. Selesai dengan kegiatannya, pembahasan berlanjut.

Pleaser ⁽ᴱᴺᴰ⁾Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang