Vander bergeming mengawang. Dia selalu mendapat binar harap di setiap pengobatan maupun di titik lemah akibat terapi. Tapi Vander juga menyadari bahwa dalam mata mereka一keluarganya一juga terpancar lelah.
Kaki lemahnya dipaksa bergerak tinggalkan tempat tidur. Berjalan pelan ke pantry dapur di mana sang Ibu tengah menata persediaan untuk beberapa hari ke depan.
"Mau dibantu, mih?"
Vander yakin berucap lembut tanpa bentakan, tapi Cendi tersentak karena suaranya. "Ya? Oh-eh, ini. Nggak usah. Ander duduk aja nemenin Amih."
Dilepas pelan genggaman pada kedua lengan. "Ander mau gerak, mih. Malah pegel-pegel kalo diem doang," protes Vander.
Sekian detik Cendi diam mengedipkan mata lambat, lalu menarik kursi ke meja tempat beberapa bahan masakan dan persediaan makanan masih membaur menjadi satu.
"Duduk sini. Kamu ngulurin, Amih yang nata di rak."
Tidak banyak konversasi antara keduanya. Cendi yang biasanya banyak tanya dan bercerita pun tampak kosong sampai beberapa kali salah menempatkan barang.
Pyarrr
"Astaga!" pekik Cendi.
Toples kaca berisi raw macaroni meluncur dari genggaman Vander, pecah berserakan. Dan Vander masih di posisi awal一terkejut atas apa yang baru saja terjadi. Salahkan tangannya yang payah sampai memegang beban (tidak) seberat itu saja sudah bergetar tak kuat.
"Maaf maaf. Amih malah ngelamun jadi kelamaan nerimanya ya?" Cendi sudah berjongkok untuk memunguti pecahan kaca.
Vander juga beringsut turun dari kursi, berniat membantu membereskan kekacauan. "B-bukan Amih. A-ander一" ucapnya terbata.
"Jangan, biar Amih aja yang beresin. Nanti tanganmu luka." Dijauhkan pelan tangan Vander dari jangkauan beling.
"Ander udah capek? Mau Amih anter ke kamar?"
Di luar kendalinya, Vander menepis kasar tangan sang Ibu yang membantunya berdiri hendak menuntun ke kamar. "Sendiri aja," lirih Vander sebelum berlalu.
Bukan penolakan kasar dari sang anak yang Cendi permasalahkan. Dadanya bergemuruh nyeri ketika melihat si sulung harus bertumpu pada meja dan dinding untuk berjalan.
Suara debuman pintu ditutup terdengar, saat itu lah tubuh Cendi meluruh, berjongkok sembunyikan wajah dengan kedua tangan. Bahunya bergetar akibat isak tangis. Lalu rengkuhan dia dapat dari arah samping.
"Bu," adalah Bi Rum yang datang sejak mendengar suara benda pecah. Bi Rum mengusap punggung sang majikan.
"A-anakku bi. Anak sulungku itu anak yang baiiik sekali. Kenapa harus Ander? Sepercaya itu kah Tuhan sama Ander buat ngemban kemalangan berat."
Wanita paruh baya yang sudah mengabdi sejak Vander bayi itu sangat tau seluk beluk keluarga Edelwards. Dari hal bahagia sampai sakit pun Bi Rum berada di sana. Menjadi saksi bagaimana keluarga itu saling merangkul, menguatkan satu sama lain.
"Di sini sesek banget liat anakku kesakitan tapi aku nggak bisa berbuat banyak," Cendi menekan telunjuk tepat di dadanya. "Rasanya pengen minta sama Tuhan biar aku gantiin一biar aku aja yang sakit."
Bi Rum melonggarkan pelukan, kemudian memegang kedua bahu milik sosok yang dia anggap seperti anak sendiri.
"Bu Cendi ibu hebat lho. Banyak orang di luar sana milih angkat tangan karena saking tertekan dan terbebani merawat orang spesial seperti Den Vander. Tapi Ibu enggak. Ibu tetap kokoh, bahkan kuat menyembunyikan air mata dari Den Vander."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pleaser ⁽ᴱᴺᴰ⁾
FanficOrang lain? Nomor satu untuk Evander. Lalu dirinya? Ada di nomor sekian sekian sekian. 𝐏𝐞𝐨𝐩𝐥𝐞-𝐩𝐥𝐞𝐚𝐬𝐞𝐫 (adj.) adalah sebutan bagi seseorang yang selalu berusaha melakukan atau mengatakan hal yang menyenangkan orang lain, meski bertentang...