18. Tentang Jami

1.2K 152 21
                                    

Edis mengendap-endap di setiap anak tangga. Sangat pelan agar menimbulkan suara seminimal mungkin. Dia masuk ke salah satu kamar di mana si empunya masih terjaga menatap lurus ke langit-langit kamar. Kegiatan mengawangnya itu terputus kala pintu terbuka dan siluet orang bergerak masuk.

Sontak dia duduk dari posisi berbaring sambil mengusap dadanya yang sempat bergemuruh akibat terkejut.

"Pih! Kirain maling!"

Tanpa permisi, Ayah tiga anak itu langsung beringsut menempati sisi ranjang samping Vander.

"Kenapa nih?" tanya Vander terheran-heran.

"Apih lagi kabur dari Amih. Masa mau nemuin anak sendiri nggak boleh."

Vander ingat sekarang. Tadi, Edis mendadak meminta untuk tidur bersama si putra sulung. Namun Cendi melarang keras dengan alasan cara tidur Edis yang mengorok dapat mengganggu Vander.

"Kok akhirnya bisa ke sini gimana?"

"Apih bilang Amih bau ketek. Terus pas Amih ke kamar mandi, Apih ke sini."

Si sulung memutar bola mata lantas ikut merebahkan diri seperti sang Ayah. "Ada-ada aja deh. Kaya anak kecil."

Edis terkekeh, lalu mengangkat selimut sampai menutup sebatas dada keduanya.

"Dulu kecilnya Ander itu suka banget ndusel di tengah-tengah Apih sama Amih. Jadinya gagal terus tiap mau bikin adik. Sampe si kembar lahir pun tetep pengen tidur seranjang. Sempit-sempitan jadi Apih sering ngalah tidur di bawah."

Mereka sama-sama diam menghadap plafon kamar, seolah di atas sana kenangan masa kecil terputar seperti video.

"Sekarang Ander udah gede, udah dewasa, udah jadi orang hebat yang punya hati luas."

Diamnya Vander bukan karena tertidur. Dia pun ikut memutar kembali memori ke belakang.

Alasan mengapa mereka tidak ragu menyampaikan rasa sayang dan tak utamakan gengsi adalah karena didikan hebat kedua orang tua. Vander kecil tidak pernah merasa terasingkan ketika orang tuanya sibuk mengurus bayi kembar. Selalu ada cara agar membuatnya merasa dilibatkan dan tak diabaikan.

Amih sering mengajaknya berbicara dari hati ke hati一begitu pula Apih. Tentang dia menjadi kakak yang mampu mengayomi adiknya, tentang keresahannya sehingga tidak terpendam lama, dan tentang hal-hal kecil lainnya.

Persis seperti saat ini; Apih datang ke kamarnya sekedar memberi apresiasi. "Apih bangga banget lho liat Ander jagain sampe jadi panutan dan tumpuan buat adek-adek."

"Tapi Ander juga nggak boleh lupain diri Ander sendiri. Kalo Ander bisa memberi, Ander juga bisa meminta. Nggak ada larangan karena sejatinya kita semua manusia yang bertahan hidup dengan saling bergantung."

Dalam remang cahaya, Vander mengangguk. Walau hanya sekedar gerakan dan bukan sebuah janji.

Mengulang kembali kenangan masa lalu bagai sebuah dongeng untuk Vander. Matanya perlahan tertutup dan berujung tinggalkan Ayahnya bermonolog.

Edis hentikan cerita ketika menyadari tak ada tanggapan apapun dari anak di sampingnya. Dia menoleh, mendapati si pendengar sudah jatuh terlelap. Pria paruh baya namun masih tampak muda itu tersenyum sendu. Dalam hati mengutarakan segala semoga agar sang putra sulung dapat terus mengukir cerita sampai mereka tua.

Dia taruh satu lengan sebagai bantal, sambil menatap lekat sang putra lambat laun matanya semakin berat.

•°•°•°•

Kalau ditanya bagaimana perasaan Vander? Tentu akan dia ungkapkan bahwa dia lelah. Setiap malam terbangun karena perutnya seperti dikoyak. Tak jarang dibarengi kepala yang pening tak tertahankan. Biasanya Vander sanggup menghadapi sendiri dan bangun di pagi hari seolah semua yang terjadi di tengah malam hanya lah mimpi.

Pleaser ⁽ᴱᴺᴰ⁾Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang