"Gue masih speechless," komentar Vander atas cerita hidup Raka dan Sakti yang ternyata saling berkaitan. "Sorry Ka, tapi gue nggak tahan. LU TAJIR ANJIR?!" pekiknya membuat Raka menutup telinga.
"Nyokap yang tajir. Gue sama aja mlarat."
Ada sesuatu dalam tatapan Sakti pada Raka. Tak dapat dijelaskan dengan pasti, tapi beragam hal tersimpan di sana.
"Raka, makasih."
Ungkapan tanpa penjelasan konteks itu ditanggapi dengan raut muka bingung dari Raka. "Atas?" tanyanya.
"Karena udah mau ketemu saya dan nggak menghindar," tukas Sakti.
Vander menjadi serba salah berada di tengah-tengah suasana yang tiba-tiba berubah canggung. Setelah dengar cerita baik dari sisi Raka maupun Sakti, kepingan puzzle lain dari sosok Raka dia dapatkan. Bahwa ternyata, Sakti sang dokter adalah kakak tiri dari Raka.
Vander berdehem, "Gue ke toilet bentar." Kemudian pergi dengan maksud beri waktu dua kaka beradik itu untuk bicara empat mata.
"Gue cuma capek lari dari masalah."
Dan Sakti mengangguk sebagai isyarat memahami maksud Raka. "Saya nggak akan berhenti ngingetin kalo rumah selalu terbuka. Mama kasih rumah bukan cuma buat saya, tapi buat kita tinggal bareng."
Yang lebih muda mengangkat kepala. "Rumah aja nggak cukup buat gue. Katakan gue nggak bersyukur. Setelah ditinggal Papa dan Ibra, harusnya gue seneng masih punya Mama. Tapi gue nggak butuh harta, gue butuh 'rumah' yang bener-bener 'rumah'."
Setelah itu Raka bangkit, tinggalkan Sakti beserta pikirannya yang berkecamuk. Berkat otak cerdasnya, dia paham maksud Raka. Namun akan sulit didapat mengingat sang Ibu yang gila kerja di luar kota.
"Halo pak bos!" sapa riang seseorang dari arah pintu pada Raka di balik meja barista. Di belakangnya ada orang lain berpostur lebih tinggi.
"Widi jadi kerja di sini lo bang?" bersamaan dengan Vander keluar dari toilet.
"Raka nih maksa."
Merasa dituduh, Raka melirik sinis. "Apaan. Bang Josh yang nawarin diri," katanya membela diri.
Satu orang, yang adalah Josh tertawa nyaring. Receh sekali memang. Padahal tidak ada yang tertawa selain dirinya. "Sebenernya Vander yang nyaranin."
Pengakuan Josh menimbulkan kerutan di dahi Raka. Dia jelaskan, "Kaya yang gue bilang, gue lagi butuh biaya tambahan sebagai mahasiswa rantau. Apalagi bokap lagi sakit di kampung. Ngelamar internship di perusahaan bokapnya Vander, eh ditolak. Terus dia bilang lo butuh tenaga lain buat bantu-bantu di kafe."
Sontak Raka menoleh ke Vander yang tengah mengusap tengkuk. Kembali ke Josh, "Tapi gue nggak bisa gaji banyak."
"Cukup lah, santai gue mah. Yang penting bisa cari duit sendiri buat jajan," timpal Josh.
"Lagian lagak lu ngelamar di bokapnya Vander. Ya worth it sih hidup lu terjamin, tapi persaingannya terkenal ketat," celetuk Nadif.
"Ya gue kira 'kan punya orang dalam jadi gampang."
Sambil berucap, Josh melirik Vander, namun dia dibuat terkejut saat Vander memijit pelipis lalu limbung. Beruntung tubuh kekar Nadif siap menopang. Sakti pun tak kalah cepat langsung menghampiri ketika pasiennya ambruk.
"Heh lo kenapa Nder?!" panik Nadif kala tubuh Vander bertumpu penuh kepadanya.
Vander masih sadar, tapi matanya sangat berat untuk terbuka sebab merasa beban menghantam kepala.
"Duduk duduk," titah Sakti ikut membantu Vander ke kursi terdekat. "Apa yang lo rasain?" tanyanya berusaha tenang.
"Sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pleaser ⁽ᴱᴺᴰ⁾
FanfictionOrang lain? Nomor satu untuk Evander. Lalu dirinya? Ada di nomor sekian sekian sekian. 𝐏𝐞𝐨𝐩𝐥𝐞-𝐩𝐥𝐞𝐚𝐬𝐞𝐫 (adj.) adalah sebutan bagi seseorang yang selalu berusaha melakukan atau mengatakan hal yang menyenangkan orang lain, meski bertentang...