Cendi memijit pelan tengkuk Vander untuk memberi kenyamanan saat sang anak menguras isi perut. Tadinya mereka sedang makan, namun Vander bergerak tak nyaman sampai akhirnya dikeluarkan lagi makanan yang masuk. Ditambah Vander mengeluh sesak napas. Jadi lah dipasang lagi selang oksigen di hidungnya.
"Udah?" tanya Cendi saat Vander menjauhkan wajah dari baskom. Diangguki, kemudian Cendi ke kamar mandi untuk membuang isi baskom.
Vander sandarkan tubuhnya kembali pada ranjang yang diatur lebih tinggi di bagian atas. Dia memejam beberapa detik kala merasa sesak di dada masih tinggal.
"Lo pulang aja," ujarnya pada si bungsu setelah membuka mata.
Melihat wajah adiknya yang terus menatap khawatir, Vander menjadi serba salah. Dia ingin terlihat baik, tapi tubuhnya sulit diajak kompromi.
"Nginep sini aja deh," Mizan memelas.
"Pulang sama Apih. Besok sekolah. Katanya ada latihan futsal juga?"
Mizan menjadi bersemangat dengar pertanyaan sang Ayah. "Boleh pih?"
Diangguki, Mizan langsung melesat mengambil jaketnya.
"Mau pulang?" tanya Cendi keluar dari toilet.
"Iya yang, kembar besok sekolah." Sudah baikan tampaknya.
"Jihan digendong mas. Kasihan kalo dibangunin," titah Cendi mengingat anak perempuan satu-satunya sudah tertidur di sofa.
Kemudian mereka berdua berpamitan dengan Kakung dan Uti, sementara Jihan dalam gendongan punggung Edis. Kamar rawat Vander kini lebih sepi dari yang tadinya ramai karena Jihan dan Mizan tak berhenti ribut.
Ponsel di nakas terus berbunyi. Cendi sebagai pemilik berdecak kesal. "Bu Lala ni cerewet banget. Gue udah bilang izin nggak bisa dateng arisan, udah transfer, masih aja ditagih. Minta ditampar uang segepok kali ni," gerutunya sambil berlalu keluar.
"Halo jeng," bakat akting Vander ternyata dari sang Ibu. Terbukti Cendi mendadak berubah ramah begitu panggilan dia terima.
"Uti tinggal nggak papa?" tanya Uti mengusap pucuk kepala Vander.
Vander mengangguk, "Ada Amih kok. Kakung Uti istirahat di rumah aja, Kak Suva jangan lupa dibawa."
"Bener ya? Jangan nakal," pesan Kakung menyentil ujung hidung Vander lalu mengikuti Uti untuk bersiap pulang.
Suva mendekat. Berdiri di samping Vander yang sudah kembali memejamkan mata. Vander tampak fokus dengan napasnya, sedangkan Suva fokus pada Vander.
"Untung gue gampang diajak kompromi, nggak ngadu kalo lo keluar. Baik-baik sama gue. Rahasia lo gue pegang."
Mata Vander terbuka malas lalu kembali ditutup. "Gituan doang."
Helaan napas keluar dari yang lebih tua. "Nggak usah dipikirin banget banget. Ntar biar gue coba cari tau."
Kali ini mata Vander terbuka lebih lebar. "Yang mana nih?"
Kedua bola mata Suva berputar. Dia baru ingat adik sepupunya itu terlalu memikirkan masalah banyak orang. Bahkan dia yakin kalau presiden curhat, pasti masalah negara Vander lah yang paling berpikir keras.
"Yang cowoknya gebetan lo jalan sama cewek lain. Siapa tadi namanya gue lupa."
"Farel," jawab Vander malas.
"Iya itu. Pokoknya lo tenang deh. Gue cariin sampe dalem-dalem mereka ngapain di sini."
Namun Vander memicing. "Nggak yakin gue," katanya. "Lo tetep bantu gue keluar lagi besok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pleaser ⁽ᴱᴺᴰ⁾
FanficOrang lain? Nomor satu untuk Evander. Lalu dirinya? Ada di nomor sekian sekian sekian. 𝐏𝐞𝐨𝐩𝐥𝐞-𝐩𝐥𝐞𝐚𝐬𝐞𝐫 (adj.) adalah sebutan bagi seseorang yang selalu berusaha melakukan atau mengatakan hal yang menyenangkan orang lain, meski bertentang...