2. Ancaman

2K 218 23
                                    

Meskipun Vander bersikeras ingin pergi sekolah apapun kondisinya, tetap dia kalah dengan amih. Menggunakan ancaman mobil dijual, tentu saja Vander pasrah. Mana mungkin dia pertaruhkan kendaraan yang bukan hanya kesayangannya, tetapi juga kesayangan teman-temannya? Selain dermawan, Vander itu juga termasuk sopir andalan.

Sudah dituruti, Cendi masih saja dibuat jengkel sebab anak sulungnya itu tidak mau diajak periksa. Sedari suaminya pulang kerja dia terus menggerutu,

"Pih anaknya itu lho diseret ke rumah sakit apa gimana kek. Amih capek bujuknya."

"Kalo anaknya nggak mau ya nggak usah dipaksa to Mih. Daripada ngamuk ntar."

Hentikan gerakan melepas dasi sang suami, Cendi pukul dadanya sekali. "Emang anakku maung apa?" Kali ini beralih melepas kancing kemeja. "Aku tu khawatir. Tadi pagi muntah-muntah. Terus sering aneh akhir-akhir ini. Kadang diem, kadang nggak fokus, kadang oleng, banyak lagi deh."

Di tengah kegiatan dua sejoli itu, yang dibicarakan menuruni tangga dengan pakaian santai tapi rapih.

"Eh eh. Mau ke mana kamu? Masih sakit udah mau keluyuran aja," tegur Cendi.

Vander memutar bola mata. Merasa jengkel karena amihnya seharian banyak mengomel. Bukan sembuh malah kepalanya semakin sakit. Oh tapi tidak cukup menjadi alasan untuk dia melewatkan acara penting.

"Sandi ulang tahun, mih. Masa Vander nggak dateng? Kasian atuh nanti pestanya kurang seru."

"Kamu bukan badut. Balik kamar balik kamar!" dia putar anaknya dan sedikit mendorong agar berbalik.

Tapi Vander memiliki cara andalan. Dia hentakkan kaki dan merengut kesal. "Amih ih tega banget. Vander cuma mau seneng-seneng ngerayain ultah temen. Iya kalo tahun depan bisa ikut ngerayain lagi. Kalo enggak?"

"Apasih ngomongnya mesti ngaco! Nggak laku ya rayuan kaya gitu! Tak plester lambemu kalo masih ngawur!"

Mode amihnya sudah benar-benar garang ternyata. Cara lain, memasang wajah memelas dengan mata membulat penuh permohonan pada ayahnya. Sepertinya percuma, karna Edis hanya mengedikkan bahu dan berlalu ke kamar.

Tapi sebelum itu, dia sempatkan mengancam, "Pergi aja. Besok bantengmu berubah jadi Mini Cooper."

"Dih!" Vander mendelik tidak terima. "Apaan! Nggak lakik banget!"

Edis menulikan diri. Dia tau anak sulungnya itu sudah terlalu bucin dengan mobil Pajero Sport hitam yang dicap gagah seperti banteng oleh Vander sendiri. Selalu menentang keras walaupun ditawari Lamborghini, Bugatti, Porsche, dan mobil sport mewah lainnya.

"Masuk kamar nggak?!" berkacak pinggang, Cendi berikan tatapan paling galak dari yang tergalak. Nyatanya Vander menurut, menaiki tangga sambil menghentak-hentakkan kaki. Melihat itu dari bawah, Cendi menggeleng. "Dasar bayi big size," katanya.

Sementara di kamar, Vander menghela napas kesal. Sejujurnya kepalanya masih sedikit berdenyut jika dipaksa berpikir keras. Tapi dia harus memikirkan cara kabur teraman. Tidak mungkin lewat depan karena amih pasti sudah bersekongkol dengan satpam.

Mau tidak mau, dia harus mengendap-endap lewat pagar belakang yang tidak pernah dibuka. Tidak peduli ada CCTV, penting dia bisa kabur saat ini.

"Maafin Vander ya Mih. Janji ini bukan kabur terakhir xixixi," monolognya seraya menggulung lengan jaket untuk bersiap memanjat pagar.

Tadi dia sudah memesan ojek online. Pengemudinya pun sudah menunggu di luar pagar.

"Weh weh! Mas maling ya?! Saya punya anak istri Mas! Nggak mau ya nanti saya jadi keseret masuk penjara!" pekik si pengemudi begitu Vander nangkring di motornya.

Pleaser ⁽ᴱᴺᴰ⁾Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang