15. Keterlaluan

551 99 2
                                    


.
.
.
.
.
Indra berlari menaiki tangga kelantai empat, dibelakangnya ada Faras juga Jatna yang tampak panik, terutama karena Indra tadi mengatakan sempat melihat Dhika keluar dari toilet lantai empat dengan senyum puas.

"Sialan, besok gue harus minta bokap gue bikin lift buat sekolah ini." Jatna menggerutu saat dia hampir saja terpeleset ditangga.

"Hah...hah...hah..." nafas ketiganya memburu saat mereka sampai dilantai empat, dengan cepat mereka menuju toilet yang memang terletak diujung lorong lantai empat.

Duk

Duk

Duk

"Raka...Raka...Kamu didalam?" Faras mengetuk pintu toilet itu dengan kasar.

"Minggir Ras, biar kita dobrak." Jatna menarik tubuh Faras menjauh, sedangkan dia dan Indra sudah bersiap mendobrak pintu toilet.

Brak

Brak

Brak

Pintu toilet terbuka pada dobrakan ketiga, melihat itu Faras langsung berlari masuk. Mengecek satu persatu bilik toilet, hingga bilik toilet paling ujung yang lagi-lagi terkunci.

"Raka!" Faras mencoba membuka bilik itu, namun sia-sia. Dia bahkan tidak mengijinkan Jatna dan Indra mendekat.

"Sialan!"

Brak

Faras yang terlampau khawatir akhirnya menendang pintu itu hingga terbuka. Remaja itu mematung saat melihat tubuh ringkih Raka tergeletak dilantai toilet.

"RAKA!" Faras segera mendekati tubuh Raka yang terasa sangat dingin. Wajah manis Raka terlihat sangat pucat, dan itu berhasil membuat Jatna, Indra dan Faras khawatir.

"Faras, sini kita harus segera bawa Raka ke uks." Faras menggeleng, dia menolak usulan Jatna.

"Gak bisa Jat, kita harus bawa Raka ke rumah sakit." Jatna terdiam, masih banyak hal yang belum dia ketahui mengenai Raka, dan apa yang menjadi kekhawatiran Faras pada Raka.

"Biar gue yang anter ke rumah sakit." Faras mengangguk, dia membiarkan Indra mengambil alih tubuh lemas Raka dipunggungnya.

"Lo tinggal disini aja, nanti waktu pulang sekolah lo bawa Nath ke rumah sakit." Jatna hanya bisa mengangguk, dia tau harus ada yang mengurus masalah ini sekarang. Jika Faras sebagai ketua osis tidak bisa maka itu akan menjadi tugasnya sebagai wakil.

"Ya, gue akan nyusul setelah pulang sekolah."
.
.
.
.
.
Nath mengepalkan tangannya erat, dia sedang emosi saat ini. Wajah manisnya yang selalu di hiasi senyum sekarang berganti dengan wajah datar. Jatna hanya mengikuti Nath dari belakang dengan membawa tas milik Faras juga Raka, Jatna juga sudah memberitahukan alasan kenapa Faras dan Raka tidak kembali kekelas. Hal itu sukses membuat Nath marah, dan memutuskan mencari Dhika keruang latihan karate.

"Nath, lupain dulu masalah Dhika, kita kerumah sakit sekarang." Nath tidak memghiraukan Jatna sama sekali, fokusnya hanya menemukan Dhika dan segera melampiaskan kekesalannya.

"Baiklah mari berharap Dhika selamat dari amukan ibu singa." Jatna bergumam saat melihat Nath berhenti didepan aula yang sedang digunakan anak eksul karate berlatih.

Brak

"RADHIKA!" semua yang ada didalam aula langsung menoleh secara serempak kearah pintu yang dibuka kasar. Mereka tentu saja bingung, kenapa remaja manis seperti Nath terlihat sangat marah dan memanggil ketua ekskul mereka seperti itu.

"Nath kangen sama gue ya? Sampai nyari kesini segala." Dhika menghampiri Nath masih dengan senyum menawan, namun kali ini senyum Dhika tidak bisa membuat Nath merona malu.

"APA YANG LO LAKUKAN KE ANAK GUE DHIKA?!" Dhika tersenyum miring, dia tentu sudah bisa menebak jika Nath akan menghampirinya jika berhubungan tentang si pendek Raka.

"Aduh Sayang, jangan teriak, nanti tenggorokan lo sakit. Anak kita kan belum lahir." Nath mengepalkan tangannya geram, mengapa bisa Dhika sesantai itu setelah mengurung Raka ditoilet sekolah.

Buagh

Semua mata tampak terlejut saat melihat Dhika terjatuh karena pukulan yang dilayangkan Nath, Dhika sendiri hanya bisa terdiam. Ini pertama kalinya Nath melayangkan pukulan dan itu karena Raka.

"Berhenti merundung Raka, sebelum gue benar-benar benci sama lo Dhika." setelah mengatakan itu Nath berlalu dari hadapan Dhika, remaja itu menarik tangan Jatna yang sedari tadi melihat semuanya.

"Antar gue kerumah sakit Jat."
.
.
.
.
.
Indra menatap Faras yang tampak gelisah didepan ugd, mereka masih menunggu kabar tentang Raka. Indra tidak tau apa yang membuat Faras begitu mengkhawatirkan Raka.

"Bang Faras." Faras menoleh saat mendengar Indra memanggil namanya.

"Hm?" Indra mengepalkan tangannya, dia tidak suka melihat Faras mengkhawatirkan orang lain, taoi dia juga tidak bisa melarang.

"Raka pasti baik-baik aja bang, lo gak perlu sekhawatir itu, meskipun dia emang anak bang Nath dimasa depan, lo gak perlu sejauh ini sama dia." ucapan Indra justru menghasilkan tatapan marah dari Faras.

"Lo gak tau apapun soal Raka, Indra, dia gak akan pernah baik-baik saja!" Indra menatap lekat pada Faras yang menatap nya tajam.

"Lo baru tau siapa Raka hari ini, jadi apapun sikap gue ke Raka. Itu gak ada urusannya sama lo!" Faras langsung membuang pandangannya dari Indra, dia tidak ingin emosi dihadapan remaja yang sebenarnya sudah mencuri hatinya itu.

"Kasih tau gue jika seperti itu bang, buat gue ngerti kenapa lo seperhatian ini sama Raka!" Faras berdecak, doa sudah cukup kesal dengan ucapan Indra sebelumnya dan sekarang remaja itu kembali membuatnya kesal.

"Karena abang lo bajingan!"
.
.
.
.
.
Indra baru saja melangkah masuk kedalam rumah mewahnya saat kedua netra nya menemukan kedua orang tuany sedang duduk berhadapan dengan Dhika. Semakin Indra melangkah maju, semakin jelas Indra melihat jika ditangan sang papi ada selembar kertas, dan melihat amplop yang tergeletak diatas meja Indra tahu jika itu adalah surat peringatan dari sekolah.

"Papi gak pernah ngajarin kamu untuk merundung anak lain Dhika!" Indra berhenti tidak jauh dari ruang keluarga, dia hanya memperhaikan bagaimana papinya tengah memarahi sang abang.

"Tapi tidak mau tahu, besok kamu harus minta maaf pada anak itu juga keluarganya." Dhika terlihat ingin membantah namun urung saat melihat tatapan tajam sang ayah.

"Rumah sakit pelita, ruang edelweis vvip 12." baik Dhika maupun kedua orang dewasa disana langsung menoleh kearah Indra yang sudah berjalan mendekat.

"Kamu sudab pulang Indra?" Indra hanya mengangguk, dia tersenyum saat melihat senyum diwajah cantik ibunya.

"Apa maksud kamu barusan Indra?" Indra beralih menatap Wisaka, ayahnya.

"Itu tempat Raka dirawat, dibawah pengawasan keluarga bang Nath, pi." Wisaka mengangguk, dia cukup tau siapa ghang panggil Nath oleh putra bungsunya itu. Dia anak tunggal sahabatnya, Kama.

"Besok kita semua kesana, dan kamu Dhika, kamu haru benar-benar dapat maaf dari anak itu, jika tidak papi akan cabut semua fasilitasmu." Dhika tidak bisa melakukan apapun kcuali mengangguk, dia tidak ingin kehilangan fasilitasnya tapi juga tidak rela jika harus meminta maaf papa makhluk pendek jelek yang sudah mendekati Nath-nya itu.

"Iya." setelah mendengar jawaban singkat dari Dhika, Wisaka dan Ingrid-istrinya-langsung meninggalkan ruang keluarga, meninggalkan dua putra mereka.

"Kali ini lo memang benar-benar keterlaluan bang, gue yakin bang Nath bakal susah maafin lo."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

DejavuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang