.
.
.
.
.
Gudang belakang rumah itu tampak berisik, Gandy yang semula fokus pada layar komputer dihadapannya langsung menatap tajam kearah sang ayah juga pria cantik yang mengaku sebagai sahabat sang ayah juga sahabat bunda Raka itu."Papa, kalau papa gak bisa tenang mending papa pulang!" Gandy menghela nafas saat melihat sang papa meminta maaf.
"Kamu beneran mau nyusulin Raka?" Gandy mengangguk saat sang papa mendekatinya.
"Aku harus, aku gak mau kehilangan dia pa." sang papa langsung menarik tubuh Gandy masuk kedalam pelukannya. Setegar dan sedingin apapun Gandy, dia tetap pihak bawah jika bersama dengan Raka.
"Apa yang perlu papa bantu?" Gandy menggeleng, dia menatap lekat papa juga pria yang beberapa hari ini sudah membantu membuat kepalanya pusing.
"Papa pulang aja, sekalian ajak om Faras, aku pusing kalau papa sama om Faras terus debat disini!" sang papa hanya bisa tertawa kecil, memang sejak kedatangan Faras kerumahnya beberapa hari lalu, dia kembali pada kegiatannya berdebat tidak jelas dengan sahabatnya itu.
"Iya iya, habis ini papa sama om Faras pulang, inget, kamu boleh ngerjain ini asal gak boleh telat makan." Gandy mengangguk.
"Aku juga masih sayang nyawa pa, mama bisa ngomel tujuh hari tujuh malem kalau aku telat makan." Gandy mengerucutkan bibirnya tanpa sadar.
"Ya udah papa sama om Faras pulang dulu, nanti sore papa kesini lagi." Gandy lagi-lagi mengangguk.
"Pa, jangan egois, papa sama mama harus cerita soal Raka ke om Faras sama om Indra. Mereka keluarga Raka, mereka berhak tau apapun tentang Raka." Jatna, sang papa mengangguk dan tersenyum pada Gandy.
"Iya, nanti papa ceritain semua tentang Raka ke mereka, papa pastiin mereka dengerin dongengan papa." Gandy tertawa, dia menggeleng dan mendorong pelan tubuh sang papa.
"Udah sana pulang, aku mau ngelanjutin kerjaan itu biar cepet ketemu Raka ih!" Jatna tersenyum jahil.
"Cie anak papa kangen sama Raka ya?" Gandy melotot kesal pada Jatna.
"Papa apaan sih?! Sana pulang, atau aku marah?!" Jatna kembali tertawa, sebnarnya bukan hanya Jatna karena ternyata Faras juga tertawa melihat tingkah Gandy.
"Aduh, iya iya, gak usah ngambek gitu, dadah anak perawan papa." Gandy menghentakan kakinya kesal saat mendengar sang papa menyebutnya perawan.
"PAPAAAA!?!!"
.
.
.
.
.
Faras menatap Jatna yang tengah duduk dihadapannya. Mereka tidak langsung pulang malah berakhir disebuah cafe yang ada diujung jalan komplek rumah Jatna. Faras tau dia melewatkan banyak hal selama ini, baik tentang Jatna maupun tentang Nath."Jat, gue ngelewatin banyak hal tentang kalian kan? Lo sama Nath." Jatna yang semula fokus dengan kopinya langsung menatap sosok sahabatnya yang baru saja kembali itu.
"Ya lo ngelewatin banyak hal, hampir sembilan belas tahun lo gak ada disini, betah banget lo hidup dijepang!" Jatna tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba melow.
"Gue sama Indra kerja disana, selama ini setiap gue atau Indra hubungin keluarga kita, mereka selalu bilang baik-baik aja." Jatna mendengarkan ucapan Faras dengan diam.
"Tapi bodohnya gue, kenapa gue gak pernah sadar kalau mereka sama sekali gak pernah bahas soal Nath, bahkan tiap kali gue nanya ke mami soal Nath, omongan mami langsung berubah ketus, goblok kan gue." Jatna mengangguk, jarang-jarang Faras mau mengatakan dirinya sendiri bodoh.
"Terus gimana kalian tau kalau ternyata Nath udah gak tinggal disana?" Jatna melihat Faras menghela nafas.
"Tiga bulan lalu, gue sama Indra sengaja pulang tanpa ngabarin mereka, kita langsung pulang kerumah utama waktu tau mereka lagi ngumpul, dan disitu kita baru tau soal Nath yang diusir sama Dhika." Jatna tersenyum sendu, dia jadi teringat saat Nath datang kerumahnya dengan menangis.
"Dhika sialan, dia dan orang tuanya juga langsung percaya sama omongan orang asing yang baru aja mereka kenal dibanding dengerin penjelasan Nath, bahkan orang tua Nath sendiri juga ikut ngusir Nath, padahal seharusnya mereka lebih paham bagaimana anak tunggal mereka itu." Faras mengangguk, tapi tangannya terkepal.
"Bodoh, mereka bodoh." Faras menunduk, dia tidak bisa menahan air mata nya saat mengingat jika sahabatnya itu hidup menderita selama ini.
"Tapi Ras, kalian udah pulang sejak tiga bulan lalu, kenapa lo gak langsung cari mereka?" Faras kembali menunduk.
"Gue nyari, tapi gue juga harus cari kebenaran soal foto itu, gue harus buat mereka nyesel karna udah percaya foto hasil editan gak jelasn itu!" Jatna mengangguk, dia bahkan sudah tau soal kebenaran foto itu, jauh sebelum Gandy dan Raka lahir. Namun Nath melarangnya memberitahu Dhika dan keluarga, menurut Nath dia sudah dibuang dan tidak akan pernah kembali kesana.
"Harusnya lo langsung dateng kerumah gue waktu itu, gue bahkan udah punya semua bukti tentang foto itu Ras." Faras mengerjap, dia menatap Jatna tidak percaya.
"Lo udah tau?" Jatna mengangguk.
"Gue langsung cari kebenaran dan dalang dibalik foto itu, sebulan setelah Nath dateng kerumah gue tengah malem sambil nangis, tepat setelah Nath tau kalau dia lagi hamil tiga bulan." Faras semakin mengeratkan kepalan tangannya mendengar hal itu. Dia membayangkan bagaimana susahnya Nath harus melalui masa kehamilannya sendirian, meskipun ada Jatna namun laki-laki itu sudah memiliki Aksa sebagai istrinya. Faras tau sahabatnya itu pasti sangat kesulitan, dia tau pasti Nath tidak pernah hidup susah sejak kecil.
Kling
Kedua pria itu menoleh saat mendengar suara lonceng berbunyi, menandakan ada yang tengah masuk kedalam cafe. Keduanya tersenyum saat melihat pasangan mereka masuk dan menghampiri mereka.
"Apa yang kalian obrolin?" Aksa langsung menempatkan dirinya disebelah Jatna, membuat pria tinggi itu langsung merangkul pundak Aksa. Begitu pula Indra yang langsung duduk disamping Faras.
"Gimana yang, kamu baru aja dari rumah kan?" Faras langsung menodong Indra dengan pertanyaan dan itu membuat Jatna maupun Aksa ikut penasaran.
"Mereka udah tau, maaf yang, aku emosi tadi pagi waktu denger mereka lagi-lagi jelekin bang Nath, aku ngebongkar semua bukti yang kita punya ke mereka, termasuk soal kahamilan bang Nath sewaktu diusir dari rumah." Faras, Jatna dan Aksa langsung menatap Indra lekat.
"Terus apa yang mereka katakan?" Indra tersenyum sinis.
"Apa lagi selain mereka nyesel, bahkan abang gue yang goblok itu langsung pergi kerumah orang tua bang Nath dan ninggalin istri juga anaknya dirumah mami." Faras berdecih, sejak awal dia tidak pernah suka melihat wanita yang menjadi istri kedua Dhika itu, bahkan anak perempuan mereka pun tidak memiliki kemiripan dengan Dhika.
"Oh jalang itu masih bisa berdiri tegak waktu dia lihat kalau foto yang dikasih ke Dhika dan keluarganya itu hasil editan?" Faras dan Indra beralih menatap Aksa yang terlihat kesal.
"Biarin dulu bang, dia masih bisa berdiri karena dia yakin Dhika bakal milih dia ketimbang bang Nath, dan harta warisan dari papi bakal jatuh ke tangan anaknya. Dia gak tau aja kalau papi bahkan udah kasih harta warisan nya atas nama bang Nath dan anaknya. Dengan syarat bang Nath harus punya anak dari bang Dhika, dan papi tadi bilang ke gue kalau dia bersyukur, karena gak oernah ganti surat warisa nya." penjelasan Indra membuat ketiganya tersenyum. Meskipun Nath tidak akan merasakan keadilan, paling tidak Raka akan merasakan itu dan mendapat semua haknya.
"Lupain dulu masalah Dhika, fokus kita sekarang bantu Gandy nyelesein alat itu, dan bawa Raka balik kesini. Anak itu gak bisa terlalu banyak ngerubah masa lalu."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dejavu
FanfictionRaka hanya ingin semua baik-baik saja, dia hanya ingin sang bunda tetap tersenyum bahagia. Raka akan melakukan apapun untuk mewujudkan mimpinya itu, termasuk melakukan hal yang sangat tidak mungkin. Saat dia dan segala mimpinya diremehkan, hanya Gan...