02. Chip aneh

672 103 11
                                    


.
.
.
.
.
Seorang remaja berusia delapan belas tahun sedang duduk gelisah didepan sebuah ruang rawat, beberapa kali netra kembarnya tampak melihat apa yang tengah dilakukan para dokter didalam ruang rawat itu. Berharap para dokter akan menyelamatkan orang paling berharga dihidupnya, sang bunda, yang saat ini tengah berjuang didalam ruang rawat itu.

"Raka!" remaja itu menoleh, dia menemukan sang sahabat sehadang berjalan cepat kearahnya bersama kedua orang tuanya.

"Gandy." Raka hanya bergumam lirih.

Grep

Gandy memeluk tubuh Raka yang lebih mungil dibanding dirinya, mengelus punggung sempit milik sahabat yang sudah terlalu lama memikul beban.

"Gue gak mau kehilangan bunda Dy, gak mau." Gandy memejamkan matanya, dia hanya bisa bergumam kalimat penenang sembari menatap kedua orang tuanya.

"Bunda kamu orang kuat Raka, jadi kamu juga harus kuat."

Cklek

Raka langsung melepaskan oelukan Gandy begitu mendengar suara pintu terbuka. Remaja itu segera menghampiri dokter yang menatap sendu kearahnya.

"Maaf, kami sudah berusaha semampu kami,  tapi tuhan berkehendak lain."

Deg!

Raka langsung merasa jiwanya ikut hilang saat mendengar ucapan sang dokter. Dia tidak menyangka bahwa dia akan kehilangan sosok yang menjadi tumpuan dan alasannya bertahan selama ini, sang bunda.

"G-gak mungkin!" Raka bisa merasakan tubuhnya kembali dipeluk oleh Gandy, dan itu sukses membuat air matanya turun secara perlahan.

"Ada gue, mama sama papa Ka, lo gak bakal sendirian."
.
.
.
.
.
Raka berdiri mematung menatap gundukan tanah basah bertabur bunga dihadapannya, tidak ada air mata, hanya ada tatapan kosong di wajah remaja mungil itu. Raka hanya tidak menyangka bahwa dia akan kehilangan sang bunda secepat ini.

"Ayo balik Ka, udah sore." Gandy yang sejak tadi berdiri dibelakang Raka, akhirnya memilih mendekat.

"Lo balik duluan aja Dy, gue masih mau disini." Gandy berdecak pelan, Raka sudah mulai keras kepala.

"Gue gak akan pulang kalau lo gak ikut pulang!" Raka hanya bisa menghela nafas pasrah sebelum akhirnya berbalik dan berjalan menjauhi area pemakaman.

Gandy hanya bisa menghela nafas saat menatap punggung Raka yang sudah berjalan menjauh.

"Gue harap lo gak akan ngelakuin hal aneh Ka." Gandy berjalan pelan mengikuti langkah Raka yang bisa terbilang sangat lambat.

Gandy terus saja menatap khawatir pada Raka, bahkan setelah remaja mungil itu masuk kedalam rumahnya. Entah mengapa Gandy tidak bisa tenang jika meninggalkan Raka sendirian, tapi remaja tinggi itu tau Raka sedang butuh waktu sendiri.

Tanpa Gandy sadari, sebenarnya Raka tengah memperhatikannya dari dalam rumah, menatap sendu pada sosok yang sebenarnya dia cintai namun terhalang status sahabat.

"Maafin gue Dy, gue janji gue bakal baik-baik aja." Raka bergumam lirih saat bayangan Gandy sudah tidak lagi terlihat.

"Makasih karena udah selalu ada buat gue Dy, tapi gue harus pastiin kalau mereka gak bakal bersatu." Raka meraih ransel hitamnya yang sejak tadi sudah dia siapkan sebelum berangkat kepemakaman.

"Sekalipun gue harus hilang, gue bakal tetep mastiin dia ngerasain apa yang bunda rasain selama ini." setelah mengatakan itu Raka keluar dari pintu belakang rumahnya. Remaja itu menatap kearah gudang rumahnya yang selama satu tahun ini dia ubah menjadi tempat eksperimen nya.

DejavuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang