0: Summoned

27 5 0
                                    

" ... baik anak-anak, kerjakan tugas hari ini dengan baik! Ingat! Jangan berisik!"

Dua puluh anak tersebut mengangguk, kecuali seseorang yang berada di bangku paling belakang. Terlihat bahwa anak tersebut tangah mencoret-coret sesuatu di kertas.

"Kalau begitu, Bapak pergi rapat dulu."

KRIETT

Pintu ruang kelas tertutup dengan suara pelan. Memang bukan suara spesial, namun sudah dinantikan oleh para penghuni kelas 3-1.

"Yeay! Akhir-"

WUUUNG

"-eh?"

Tiba-tiba saja terdengar suara mendengung yang cukup keras. Entah darimana asalnya, tidak ada yang tahu.

Anak di bangku paling belakang menghentikan kegiatan mencoret-coretnya. Ia menoleh ke kiri, dimana merupakan jendela kelas.

"Su- suara apa itu?!"

"Apa yang terjadi?!"

Suara-suara panik dan bingung terdengar di ruangan 3-1.

"... van ... Devan!"

"Hem?"

Anak yang dipanggil Devan tersebut mengalihkan pandangan dari jendela. Ia lihat teman yang duduk di bangku depannya.

"Hem?! Apa maksudmu dengan 'hem'?!"

"Tenanglah, Ciel. Ini tidak seperti dirimu yang biasa saja," ucapnya dengan wajah yang mengatakan 'ekspresimu lucu sekali'.

"Kamu--! Ah sudahlah." Akhirnya Ciel-atau lebih tepatnya Cielo-hanya bisa menghela napas pasrah. Ia sudah terbiasa dengan sikap Devan yang seperti ini.

"Hanya di kelas kita."

Cielo melihat kembali pada Devan yang bergumam. Ia tidak mengerti dengan apa yang dimaksud temannya itu. Jadi ia hanya menunggu.

WUUUNGGG

Sekali lagi. Dengungan itu terdengar lagi. Namun, kali ini disertai dengan semacam kekuatan yang terasa menarik mereka.

"Tidak ada yang menyadari keanehan di sini."

Dengungan tersebut terus berlanjut. Bercampur teriakan panik dan bingung anak-anak di kelas. Dan di antaranya, ada suara tenang milik Devan.

"Menurut plot klise dari kebanyakan novel, kita dalam proses dipindahkan ke dunia lain."

Cielo tidak ingin memusingkan mengapa Devan tidak panik, dan malah menganalisis situasi dengan kesimpulan yang sangat imajinatif.

Seakan sudah lelah, Cielo berdiam diri di kursi, mengamati wajah tenang milik temannya. Devan ini, otak di kepala berambut hitam itu sudah tidak lagi berisi hal-hal normal pada umumnya, itu penuh dengan plot bergenre fantasi.

Di akhir kalimat yang Devan katakan, muncullah sebuah array sihir di bawah kaki mereka. Array berwarna kuning keemasan yang mencakup seluruh lantai kelas 3-1.

Array tersebut berisi rune dan pola rumit, yang makin lama semakin bercahaya terang.

"Dengan semacam sihir pemanggilan ... "

Cahaya dari array tersebut semakin menyilaukan mata. Dengungan yang sedari tadi tak kunjung berhenti juga mendominasi gendang telinga mereka. Apalagi kekuatan aneh yang sejak tadi telah mereka rasakan, kekuatan tarikannnya semakin kuat.

" ... tuh pengorban ... "

Sesaat sebelum semuanya putih, dapat Cielo lihat Devan yang kepalanya menunduk mengamati array dan suara tenang yang semakin kabur.

Semuanya menjadi putih. Devan memejamkan mata.

.

.

"Sial! Apa itu tadi?!" teriakan keras menggema di tengah hutan.

"Aww aku pusing!"

Sekarang, mereka ber-duapuluh tengah terduduk di atas tumpukan dedaunan kering. Meskipun belum banyak yang menyadari hal tersebut.

Hingga seseorang berdiri dari tempatnya.

"Bangunlah kalian. Coba lihat sekeliling kita," ucapnya tanpa nada urgensi sedikit pun.

Yang lain akhirnya dapat melihat ke sekitar. Di situlah mereka menyadari. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, yang dapat dilihat ialah pohon, pohon, dan pohon.

""...""

Beberapa waktu terlewat dengan suasana hening yang aneh. Tidak ada yang mengeluarkan suara satu pun di dalam kelompok duapuluh orang tersebut. Hanya suara beberapa burung lewat di atas pohon yang tinggi.

Hingga akhirnya...

""KITA DIMANA?!""

... mereka menyadari pokok masalah yang kini terjadi.

End to Start: Their Life in AelatrasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang