1: Buku keramat

24 4 0
                                    

"Ki- kita isekai?!" Oscar, yang paling histeris dan panik di antara anak laki-laki.

"Apa kita dipanggil untuk menyelamatkan dunia?!" Kelvin, si paling bermimpi jadi pahlawan penyelamat dunia.

"Apa yang terjadi?! Bisakah kita kembali?! Hei dewa atau apapun! Jawab aku, kenapa harus hutan?! Bagaimana jika tidak ada toiletnya?!" Ghisel, paling panik dan bawel di antara anak perempuan.

"Apa nantinya ada pangeran yang menyelamatkanku?!" Seila, yang punya cita-cita menikah dengan pangeran berkuda putih.

"Hiks ... hiks ... bi- bisakah kita kembali?" Clara, si paling cengeng dari ke-sembilan perempuan di kelas 3-1.

Dua puluh anak berseragam yang sangat tidak cocok dengan latar tempat mereka, sekarang tengah berkumpul. Yang panik, yang bingung, yang menangis dan bahkan yang meng-halu pun ada.

Tak ikut dalam keributan tersebut, Devan berdiri membelakangi teman-temannya. Ia menengadah, melihat langit yang tak jauh berbeda dengan yang ada di dunianya dulu-yang ia tinggalkan baru beberapa saat lalu. Namun, di sini tidak lagi berwarna biru cerah-melainkan jingga kemerahan yang menandakan hari sudah sore. Mungkin waktu di sini dan di tempat dia sebelumnya berbeda, pikirnya.

"Akhirnya terjadi juga, ya."

Devan menoleh pada seseorang yang datang tiba-tiba.

"Apa maksudmu?"

Orang tersebut memiringkan kepalanya, menghadap manik hitam milik Devan. Dengan sudut bibir yang tertarik ke atas dan mata yang tertekuk ke bawah, membentuk kurva wajah yang hangat.

"Plot-plot yang memenuhi kepalamu. Khayalan yang sering kamu ceritakan padaku. Bukankah sekarang menjadi kenyataan?"

Ya, Cielo yang menjadi pendengar semua ka-halu-an Devan.

Semua itu dimulai pada suatu hari Senin. Ia yang merupakan siswa baru di kelas, belum memiliki satu teman pun.

Di hari pertama ia masuk, seseorang berpindah tempat duduk untuk diberikan pada dirinya. Yang awalnya berada di bangku kedua dari belakang, orang itu mundur dan memberikan tempat duduknya itu padanya.

Cielo heran, namun masih menerima dengan senang hati. Sekilas, dapat ia lihat name tag yang tertera pada baju di dada kanan orang tersebut. Tertulis di sana-Devandra Rahardian.

"Terima kasih, Devan."

Itu adalah kali pertama dia berbicara dengan Devan.

...

Di laci meja yang sebelumnya Devan tempati, Cielo menemukan buku yang memiliki tulisan dan gambar yang padat. Sebelum ia dapat mengembalikan buku tersebut pada orang di belakangnya, guru sudah memulai kelas. Sehingga ia harus menunggu waktu istirahat tiba untuk memberikannya.

Namun, di waktu istirahat pun ia belum bisa mengembalikan buku itu pada pemiliknya. Ada tiga masalah. Pertama, mejanya dikelilingi oleh teman sekelas yang mencoba mengajak dia berkenalan. Kedua, setelah ada waktu untuk menengok ke belakang, bangku milik Devan sudah kosong. Ketiga, Devan baru kembali entah darimana, bersama dengan guru yang memasuki kelas.

Garis-garis hitam imajiner muncul di bawah mata Cielo.

"Tak apa. Masih ada waktu nanti ketika pulang sekolah," pikirnya.

...

Sampai akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Selesai berkemas, ia mengambil buku yang berada di laci meja, berdiri lalu menoleh ke belakang.

Ditemukannya bangku yang kosong, mejanya telah bersih tanpa peralatan sekolah satu pun di atasnya. Cielo menghela nafas kecewa, kecewa pada dirinya sendiri yang selalu terlambat.

Hingga seorang teman sekelas yang melihat dia masih berdiri di samping tempat duduknya bertanya. "Cielo? Kenapa masih di sana?"

"Ah ... ini ..." jawabnya sembari mengangkat buku yang ia pegang-buku bersampul hitam tanpa hiasan apapun.

"Oh! Bukankah itu buku keramat milik Devan?"

Hampir saja Cielo menjatuhkan buku tersebut. Belum sempat ia bertanya mengenai maksud dari buku 'keramat', temannya tadi berbicara kembali. " Kamu ingin memberikannya, kan? Kurasa anak itu masih di sekolah. Coba kamu ke rooftop, mungkin dia ada di sana."

Mendengar hal itu, Cielo bergegas ke tempat yang dikatakan oleh temannya tadi. Tak lupa juga untuk berterima kasih.

"Tidak masalah. Memang anak itu seperti sedang praktik teleortasi saja."

Cielo mengangguk setuju dalam hati, Devan itu dengan mudahnya datang dan menghilang-pikirnya.

Tak perlu waktu lama, ia sudah sampai di depan pintu yang mengarah ke atap gedung sekolah. Ia tak tersesat karena tadi siang sempat diajak ke tempat ini oleh teman sekelas lainnya.

Memutar kenop pintu, ia menariknya hingga terbuka. Disuguhkan padanya langit luas yang berwarna jingga kemerahan dan surai hitam milik seseorang yang tertiup angin.

Ia membulatkan mata. Pasalnya, orang bersurai hitam tersebut tengah berdiri di tepian rooftop.

"APA YANG KAU LAKUKAN?!"

End to Start: Their Life in AelatrasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang