Malam ini merupakan malam yang tak pernah terpikirkan oleh Cielo. Bagaimana tidak, mulai ia yang menemukan makhluk beratribut gelap di kerumunan manusia. Sampai teleportasi mendadak ke tempat yang tidak ia kenal—ah, ia sebenarnya bisa menebaknya sampai batas tertentu, jika tempat ini adalah wilayah musuh.
Ia sempat panik. Jumlah musuh dapat dibilang banyak, apalagi dua vampir di sana dan satu-satunya manusia yang memilki kekuatan besar.
Namun ia tak akan takut, ia sudah banyak berlatih selama ini. Setidaknya, ia ingin melawan agar hidup yang telah temannya berikan tak berakhir sia-sia.
Tapi kejutan tak berhenti di situ. Di tengah pertarungan, ia mendengar suara nan akrab di telinganya. Suara yang sering kali ia dengar sebelumnya, sekaligus suara yang ingin ia dengar kembali akhir-akhir ini.
Cielo menghentikan ayunan pedangnya tanpa penundaan.
Ketika atensinya beralih pada pemilik suara, tatapannya terkunci pada manik ungu misterius. Seketika dalam dadanya, ia merasakan kerinduan yang dalam.
Manik mata cokelatnya bergetar. Tanpa sadar, cengeraman pada gagang pedang longgar, sehingga terjatuh dengan suara begitu nyaring.
Bibirnya terbuka ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada kata yang keluar. Entah memang tak ada kata atau karena terlalu banyak kata sehingga tak tau mana yang harus diucapkan terlebih dahulu.
Beberapa saat kemudian, satu nama terlontar dari bibir Cielo.
"De- devan?!"
.
.
Cielo yakin tidak mengenali orang yang salah.
Suara yang sempat ia dengar tadi sangat akrab di telinganya. Meskipun bernada datar, ia juga sering mendengarnya dari sosok itu ketika dalam mood buruk.
Wajah yang ia lihat sama persis dengan satu tahun yang lalu. Mungkin bedanya kini kulitnya tampak lebih pucat. Tapi ketika memandang pada sepasang mata itu, ia tak mendapati pupil hitam milik temannya dahulu. Di sana adalah pupil ungu misterius yang dalam.
"Ia sangat ingin punya iris berwarna selain hitam. Tetapi selalu takut untuk memasang contact lens."
Cielo memandang lekat pada sosok temannya yang ia pikir meninggal setahun yang lalu.
"Apa kau mengenalku, manusia?"
DEG
Satu kalimat dari orang itu menghantam jantungnya. Iris cokelat miliknya berkontraksi.
Ia melangkah mendekat dengan susah payah. Meskipun para penjaga kembali mengangkat pedang, ia tak mengindahkannya sama sekali. Perhatiannya hanya tertuju pada sosok di depan pintu besar.
"Ah, aku tau, Devan. Kau sengaja bersembunyi selama ini lalu memberiku kejutan, bukan?"
Ia menyeret kakinya untuk lebih dekat.
"Selama ini kamu masih hidup dan menunggu waktu yang tepat untuk bertemu denganku, ya?"
"... Devan."
SRINGG
"Berhenti di situ, orang Kuil!"
Langkahnya terhenti, lantaran ujung tajam pedang diarahkan tepat ke lehernya.
Tatapan yang tadi berfokus pada satu orang, kini beralih pada seseorang yang menghalangi jalannya. Ia menatap mata emas lawan.
"Menyingkir," ucapnya penuh penekanan.
Namun orang ini tidak mengindahkan apa yang ia katakan. Merasa telah sampai pada batas kesabaran, aura emas terang meluap.
Orang di depannya tak mau didorong mundur. Dia mencengkeram erat gagang pedang besar yang mengarah pada Cielo.
KAMU SEDANG MEMBACA
End to Start: Their Life in Aelatras
FantasySejarah adalah tentang apa yang telah terjadi. Namun, buku yang menuliskan sejarah dapat dimanipulasi. Kebenaran hanya dapat diakses oleh beberapa orang. Sembari menyembunyikan, orang-orang itu juga menyusun rencana besar. Mereka yang awalnya bukan...