11: Pengunjung kastil

9 4 0
                                    

Satu hari kemudian mereka berhasil keluar. Di depan pintu masuk alias dua batu besar, terdapat seorang lelaki dengan busur di punggungnya.

Oscar dengan semangat menyapa lelaki itu. "Tuan Roan!"

Lelaki yang dipanggil tersebut berbalik. Dilihatnya kelompok enam orang remaja yang berjalan ke arahnya, salah satu dari mereka melambai pada dirinya. Roan pun balas melambaikan tangan.

"Selamat datang kembali Pahlawan sekalian, apakah kalian baik-baik saja?" sapa Roan pada keenam remaja itu.

"Kami baik-baik saja, Tuan," jawab Alvin dengan sopan. Roan pun menghela napas lega.

"Um, apakah anda selalu menunggu di sini?" tanya Gishel penasaran, karena sekarang matahari sudah terbenam sedangkan Tuan Roan masih di sini.

"Ya benar, Nona. Saya selalu menunggu para Pahlawan."

Mendengarnya, Alvin dan teman-temannya merasa tidak enak pada pria paruh baya di depan mereka itu.

Mengetahui pikiran anak-anak muda di depannya, Roan segera mengalihkan topik. "Lalu bagaimana keadaan di dalam Nox Valley?"

Alvin pun menjelaskan apa yang telah mereka lihat secara garis besar. Setelah Roan memahami ceritanya, dia mengajak kelompok pahlawan itu kembali ke desa untuk beristirahat.

.

.

.

trang trang

Suara nyaring pedang yang saling beradu bergema di aula yang luas.

Ruangan yang luas dan tinggi, yang di setiap pinggirnya memiliki berbagai senjata yang terpajang. Tidak seperti dikebanyakan ruangan pada kastil itu, redup dan suram. Aula latihan ini memiliki pencahayaan yang lebih terang, meskipun mungkin berbeda lagi menurut mata manusia normal.

Dua orang yang tengah bertarung di sana adalah kakak beradik Helios dan Raphael.

Lalu juga ada satu orang lagi yang berada di tempat itu, duduk manis mengamati latihan keduanya. Sampai terdengar bantingan pintu aula disertai teriakan nyaring yang sudah sangat dikenal mereka.

brak!

"Ayah! Ada tamu!"

Pertarungan di tengah aula seketika berhenti, tiga orang di sana menoleh untuk melihat orang yang datang dengan keributannya.

Lucius berdiri, menghampiri si putra ketiga. "Siapa tamunya?"

"Dua orang berjubah hitam! Aku tidak tahu siapa, karena tadi hanya lihat dari lantai atas. Lalu langsung berlari ke sini," jawab Gabriel agak merasa bersalah.

Karena sudah cukup lama kastil mereka tidak dikunjungi oleh orang lain, jadi ketika ia melihat ada pengunjung, ia langsung mencari ayahnya untuk menyampaikan kabar baik.

Lucius menghela nafas setelah mendengar penuturan anaknya yang satu ini. Lalu pada waktu yang tepat, kepala pelayan datang.

Orang tua berseragam butler itu membisikkan sesuatu di telinga Lucius. Mendengarnya, mata Lucius meringkuk. "Hm~ Sepertinya mereka ingin memprotes kita."

Lucius mengajak Raphael yang ternyata sudah berada di dekatnya, untuk menyambut tamu. Beberapa langkah kemudian, Lucius berbalik. "Ah Gabriel, pergilah dengan Helios menemui Thristan."

"Hah? Tapi aku ingin melihat tamunya!" ujar Gabriel dengan cemberut.

"Mainan baru sudah siap." Mendengarnya, seketika Gabriel mengembalikan wajah anak anjing yang diberi tulang. Tanpa penundaan, ia menarik Helios pergi dari sana, membuat sang korban menunjukkan muka suram dengan garis-garis imajiner hitam.

.

.

Membuka pintu, terlihat dua tamu yang tengah duduk di dalam. Lucius masuk terlebih dahulu, diikuti oleh Raphael, sedangkan pelayan tadi undur diri dari ruangan tersebut.

Dua tamu itu berdiri untuk menyambut tuan rumah.

"Sudah lama kastil tua ini tidak memiliki pengunjung. Ternyata tamu pertama setelah sekian lama adalah Nona Diane," sapa Lucius pada salah satu tamu yang telah membuka tudungnya.

Tamu itu adalah seorang wanita cantik, berambut hitam dan mata hijau. "'Nyonya', Tuan Lucius," kata Diane membenarkan.

Lucius yang sudah duduk di kursinya mengangguk sambil tersenyum meminta maaf. "Ah ya 'Nyonya' Diane, haahh sudah lama sampai saya lupa."

Melirik ke samping pada tamu lainnya, ia bertanya melalui mata kepada Diane.

"Ini pasti pertama kalinya Tuan Lucius melihatnya. Perkenalkan, orang ini adalah putra angkat Escanor, namanya Lione Superbia."

Orang yang diperkenalkan sebagai Lione itu membuka tudung yang menutupi wajahnya. Terlihat wajah muda sembilan belasan tahun dengan rambut cokelat muda dan mata emas yang tajam.

"Salam kepada Tuan Lucius. Saya Lione Superbia," ucap Lione memperkenalkan diri.

"Hm, masih sangat muda. Sepertinya hanya selisih sedikit dengan anakku ini." Lucius menoleh pada orang yang masih berdiri di samping kursinya. "Kenapa kamu tidak duduk juga, Raphael?"

Raphael hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Saya sudah ingin menanyakan ini sedari tadi, siapakah anak muda di samping Tuan Lucius? Setahu saya, tidak ada orang ini di kastil Notte terakhir kali." Diane angkat bicara setelah lama penasaran dengan sosok anak muda yang berdiri di samping kepala keluarga Notte.

"Ah benar~ ini anakku yang keempat, Raphael Mese de Notte."

Mendengarnya, Diane sedikit mengernyitkan alis. Bukan karena namanya atau fakta tentang anak baru orang di depannya, melainkan ia merasa seperti ada yang tidak biasa dari vampir bernama Raphael itu.

Lucius yang dapat membaca sekilas pikiran Diane, mengalihkan topik.

"Saya kira Nyonya Diane dan Nak Lione kemari bukan hanya untuk kunjungan biasa, apakah saya salah?"

Kembali fokus pada urusannya, Diane mulai berbicara. "Tuan Lucius tidak salah, kami kemari karena hal yang terjadi beberapa hari yang lalu."

Ada jejak ketidakpuasan pada mata hijau lumut wanita itu. "Apakah Tuan Lucius mengetahui jika salah satu bangsa monster di bawah saya hampir saja punah?"

"Maksud Nyonya Diane adalah monster ular di Nox Valley itu?"

"Ya, baguslah bila anda sudah tahu. Lalu apakah anda juga tahu siapa yang melakukannya?" tanya Diane dengan suara berat.

"Aku."

Bukan Lucius yang menjawabnya, melainkan vampir yang masih setia berdiri di sampingnya.

Rapahel, yang berbicara barusan, mengulangi kalimatnya. "Aku yang melakukannya."

Suasana hening beberapa saat.

Akhirnya Dianelah yang pertama kali menanggapi. "Anak muda, jadi kamu pelaku yang sudah membuat hampir satu spesies monster musnah?!" tanyanya dengan penuh penekanan.

Sebagai salah satu dari ketujuh Pemilik Janji, Diane—si penyihir ketiga, memiliki aura kuatnya sendiri. Raphael, yang belum lama menguasi kekuatan vampirnya, merasa terbebani oleh aura wanita di depannya.

Tidak tinggal diam, Lucius menggunakan aura miliknya untuk melindungi sang anak, menekan balik aura Diane.

"Maaf menyela, Nyonya Diane. Meskipun benar bahwa anakku yang melakukannya, tapi bukankah itu hanya hampir musnah."

"Hanya?! Apa maksud anda itu 'hanya'?!" tukas Diane dengan keras, ia tidak terima jika insiden yang membuat salah satu bangsa yang di bawahinya tinggal beberapa itu dikatakan 'hanya'.

"Maksudku, setidaknya masih ada beberapa yang hidup, bukan musnah 'sepenuhnya'. Bukankah dengan adanya Nyonya Diane, monster itu bisa berkembang kembali?" jawab Lucius dengan tenangnya.

Menstabilkan emosi yang sempat melunjak, Diane kembali berbicara. "Memang benar apa yang Tuan Lucius katakan, namun untuk mengembalikan ke keadaan semula itu akan memakan banyak waktu."

Melihat lawan bicaranya masih diam, Diane melanjutkan. "Saya dan keenam Pemilik Janji lainnya ingin meminta kompensasi."

End to Start: Their Life in AelatrasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang