10

2.4K 497 40
                                    

Enam bulan sudah sejak Senja meninggalkan Indonesia dan Robert tetap dengan kesibukannya setiap hari. Sesekali mereka masih saling berhubungan walau intensitas yang tidak terlalu sering. Kesibukan Robert untuk berkumpul dengan teman-temannya pun juga masih sama, seperti saat ini ketika Robert berkumpul setiap malam Minggu.

"Bet, gue kenalin Lo sama rekan bisnisnya Fabian mau nggak? Namanya Zizi," kata Deva saat mereka sedang berkumpul di salah satu warung nasi goreng kambing.

"Cantik nggak, Dev?" Tanya Nada menimpali.

"Nggak kalah sih sama Senja. Jelas lebih berduit juga," kata Deva yang membuat Robert melemparkan potongan timun yang sudah separo ia makan.

Nguing....

"Aduh, jorok banget sih Lo, Bet!" Omel Deva pada sahabatnya.

"Gue masih sanggup cari sendiri. Lagian juga gue bukan cowok matre."

"Hari gini, Bet. Kalo ada yang mapan finansial kenapa juga nggak dipertimbangkan. Ingat ya, wanita itu harus mandiri dan berpenghasilan sendiri. Andai kata Lo dipanggil Tuhan duluan, dia tetap bisa hidup dan nggak kelaparan," kata Deva menerangkan.

"Setuju gue, Dev. Apalagi jaman sekarang banyak banget fenomena janda finansial."

Robert mengernyitkan keningnya.

"Apaan lagi tu janda finansial, Nad?" Tanya Robert sambil menatap sahabatnya yang baru saja menyeruput es teh.

"Punya suami, tapi dia harus menghidupi dirinya, anaknya bahkan kadang suami dan orangtuanya."

"Sandwich generation kali ah," kata Robert menyanggah.

"Beda. Ini itu suami nggak kasih nafkah tapi mereka masih menikah."

Deva menggelangkan kepalanya. "Lo dapat istilah itu dari mana, Nad?"

"Teman-teman di kantor lah."

"Gue tetep mau nunggu Senja aja," kata Robert pasti.

Deva dan Nada menghela nafas mendengar keteguhan hati Robert. Menunggu orang yang belum pasti? Sesuatu yang hanya buang-buang waktu menurut mereka. Bagi Deva dan Nada, Tom yang menunggu Salma hampir 20 tahun saja sudah tergolong tindakan di luar akal sehat mereka. Untung saja itu tidak sia-sia. Andai Salma tetap tidak mau menikah, maka Tom akan membujang hingga tua.

"Masalahnya umur Lo bentar lagi 31 tahun. Nada aja sudah bunting. Masa Lo kalah sama Om Wisnu yang bentar lagi udah mau kawin?"

"Ya sudah, gue nunggu adeknya Juna aja lahir. Nanti gue nikahin. Dijamin bibit unggul kan?"

"Andai Tante Samira sama Papa punya anak pun nggak akan gue kasih restu Lo nikahin, Bet."

"Gue kurang apa? Gue ini kan tampan dan mapan."

Kini Nada menghela nafasnya dan melihat Robert dari atas sampai bawah.

"Mau Lo tampan dan mapan, kalo 25 tahun lagi juga Lo sudah aki-aki."

"Eits! Belum tentu. Siapa tau gue seawet muda bapaknya Junaidi."

Kini Deva sudah tertawa terbahak-bahak.

"Bet, Om Wisnu mana kenal nasgor kambing porsi jumbo dengan tambahan telur ceplok dua biji plus emping begini," kata Deva sambil mengangkat piring milik Robert.

"Betul Lo, Dev. Gue aja kadang stress kalo kelamaan nginap dirumah Papa. Disana makanan sehat semua. Junaidi aja lama-lama terkontaminasi sama gue, dia sekarang makannya apa aja doyan selagi gue yang masak. Dulu sih ampun deh, makannya dihitung itu karbohidrat, protein dan lain-lainnya."

Senja Untuk RobertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang