1. Cinta dan Benci

413 38 2
                                    

"Ssshh..., pelan-pelan," desis pendek bibir merah muda yang terluka di sudut kirinya.

Sial.

"Kenapa lo desis, Narel! Jangan bikin gue mikir yang iya-iya, napa?" tanya gadis bersurai hitam panjang bergelombang dalam hatinya.

Gadis berseragam putih abu itu menunduk dengan tatap tertuju pada bibir pria tampan manis di hadapannya. Lagi-lagi ia menelan ludah. Degup jantungnya kian cepat, peluh di pelipis bercucuran, dan jemari yang memegang cotton bud berlumuran salep itu bergetar tak karuan.

Untuk pertama kalinya ia duduk bersebelahan dan berbicara dalam radius sedekat ini dengan pria populer seantero sekolah. Pria yang selama lebih dari dua tahun ini ia kagumi diam-diam.

Bukan hanya itu. Karen tahu betul, meski Narel ini ramah terhadap siapa saja, namun Narel tidak memiliki hubungan yang berarti dengan orang-orang. Mereka hanya sebatas teman satu sekolah dan rekan tugas organisasi. Bukan Narel yang membatasi pergaulannya, namun pembawaannya yang tenang serta gestur percaya diri yang tampak mahal membuat orang-orang segan terhadapnya.

Gadis ber-tag nama Karen menghela napas mengatur diri agar tidak terlalu nampak salah tingkahnya. Ia yang biasa banyak bicara, seketika ciut dihadapkan dengan Narel.

"Sekarang?" Karen bertanya pelan. Ia mengembuskan napas lega setelahnya.

Huh, menguncapkan satu kata saja menjadi sesulit ini.

Narel mengangguk dan berdehem rendah, "hhmm..."

"Aaa! Nyebut Narel nyebut! Bisa-bisa gue mati muda serangan jantung kalo gini!" heboh Karen dalam hati. Jika tidak dalam keadaan seperti ini, dapat dipastikan Karen sudah berjingkrak ria di atas brankar.

Narel yang mendapati ekspresi tertahan Karen, mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya. Kenapa?

Karen kembali menelan ludah susah payah, keimanannya sungguh sedang diuji. Dirinya mengesampingkan rasa malu saat memaksakan jemari kanannya yang tremor untuk mendekat pada sudut bibir Narel. Mengoleskan salep pada luka tonjokan. Gadis ramping itu ingin cepat-cepat menyelesaikan kegiatannya agar segera keluar dari kegugupan ini.

Tapi, tunggu. Karen merasa sesuatu yang hangat perlahan menggapai jemari kirinya yang menganggur di atas seprai putih. Ia berdesir kaku setelah mendapati jemari Narel menggenggam tangannya.

Tidak.

Gadis itu mengerjapkan mata berusaha menyadarkan diri. Tidak boleh berpikir terlalu jauh, mengingat Narel bukan seperti lelaki kebanyakan, mungkin pria itu kesakitan sebab luka di bibirnya. 

Sesekali, Karen melirik pintu UKS takut ada orang yang memergoki. Ia tidak ingin menjadi bahan perbicangan orang-orang satu sekolah mengingat latar belakangnya sangat bertolak belakang dengan Narel. Contoh kecilnya saja...

Jika menanyakan Narel, orang-orang akan menjawab.

"Oh tahu gue, ketos yang ramah banget itu."

"Tahu banget gue, ayang Narel Si sultan tampan dan lucu!"

"Ah Narel ranking dua pararel, ya."

Berbeda halnya dengan Karen. Tak kurang tak lebih orang-orang pasti mengatakan, "Oh, Si Karen tukang razia!"

Oh damn!

M E M A K U [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang