7. Sesal dan Kecewa

115 21 7
                                    

Ting Tong!

Bel kamar mereka berbunyi, Yova terkesiap dengan gurat was-was di wajahnya. Bertanya-tanya apakah yang menekan bel salah satu anggota OSIS atau PKS? Jika benar, tamat sudah riwayatnya. Tapi, kemungkinan kecil bukan mereka mengingat apa yang telah Yova lakukan diperjalanan menuju ke mari.

Jevan berdecak kesal lantas melepas pelukan, jemari kirinya mengurut kening mengusir sisa pening. Sesaat setelah ia menjauh beberapa langkah dari Yova, tangan kanan yang berlumuran darah bergerak membuka pintu. Tampak seorang pelayan dengan dua botol anggur merah di atas nampan antik. Cepat-cepat Jevan mengambilnya, lalu menggebrakkan pintu sampai tertutup rapat.

Yova menghela napas lega, ternyata hanya pelayan. Dengan cekatan, Yova mengambil alih satu botol anggur merah di sebelah tangan Jevan. Keduanya berjalan beriringan menuju sofa di tengah kamar. Yova menatap gusar pada pemuda di depannya yang berjalan sempoyongan. Sesekali ia memasang ancang-ancang saat tubuh Jevan tampak akan limbung. Yova mempercepat langkah, menyejajarkan diri dengan Jevan. Sementara, orang yang dikhawatirkan
malah terlihat abai seolah Yova tak pernah tampak kehadirannya.

Hanya lenguhan yang keluar di mulut Yova. Satu tahun lebih berkecimpung dalam dunia malam membuatnya terbiasa dengan keadaan seperti ini. Jevan terlampau mabuk, Yova harus siap menerima perlakuan apa pun dari orang yang bisa dibilang tidak waras itu.

Jevan meneguk cairan merah tanpa perhitungan, persis seperti orang yang kepanasan di tengah gurun pasir. Ia menelannya sambil memejamkan mata kala denyut di kepala menyerang tiba-tiba. Hantaman yang lebih menyakitkan dari sebelum-sebelumnya. Tuk sekadar membuka kelopak matanya pun, Jevan tak sanggup. Kepalanya terasa semakin berat seolah akan pecah saat itu juga. Jevan meramat surai pirangnya kuat-kuat, tak memedulikan botol anggur merah yang lepas dari genggaman.

Botol kaca itu menambrak granit, tak perlu menghitung detik pecahannya sudah tersebar sembarang arah. Pekikan keluar dari mulut Yova saat kaca berukuran sedang yang sangat tajam menggores betisnya.

"Arghh! Bangsat goblok anjing, penyakit sialan!" teriak Jevan dengan suara serak yang sirat akan kesakitan.

"ARGHHH!" raungan panjang memenuhi seisi ruangan.

Kata sakit tak lagi bisa menggambarkan keadaan tubuhnya, Jevan benar-benar tersiksa. Kakinya
mulai lemas dan kehilangan keseimbangan. Tubuh kekar itu limbung, namun segera medapat rangkulan dari Yova. Wajah Jevan merah padam, urat-urat timbul di dahinya. Tetap seperti itu untuk beberapa saat. Perlahan rasa sakit hilang bersamaan dengan ingatan yang direnggut kegelapan. Kini, Jevan tak sadarkan diri.

Beberapa menit berlalu, akhirnya Yova berhasil mendudukan Jevan di sofa. Napasnya terengah,
ia membanting tubuh ke samping Jevan sebab kelelahan. Dering ponsel menginterupsi, Yova
meraih ponselnya yang tergeletak di sofa, beberapa menit lalu Jevan meminjamnya untuk menelepon... Chelsea? Kalau Yova tidak salah, perempuan yang Jevan telepon adalah tunangannya.

Yova aktifkan ponselnya, dengusan keluar saat manik kecokelatan itu berhadapan dengan nama penelepon di layar ponsel.

"Gue sama lo gak ada apa-apa lagi, berhenti hubungin gue!" bentak Yova, ia tak sepenuhnya kesal justru ada rasa bersalah setelah mengucapkan sepenggal kalimat itu.

"Yova sumpah lo aneh banget, kenapa lo tiba-tiba gini, sih? Jangan bikin gue tambah ruet, dimana lo sekarang? Gue otw sana, kita bicara langsung!" cetus pria di seberang telepon rusuh.

"Aneh? Bukannya awal ketemu, gue udah kayak gini? Lo sendiri tahu gimana gue sebenernya, lo harusnya gak bodoh buat nyadar kalo gue cuma manfaatin lo! Lo terlalu bodoh dan cupu, lo udah gak berguna lagi, gak ada yang bisa gue ambil dari lo!" jawab Yova tegas, selepas itu dia menggigit bibir bawahnya menahan tangis.

M E M A K U [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang