"Papah bener-bener pergi?" gumam gadis itu sambil menatap ponselnya yang beberapa saat lalu menyuarakan operator bahwa orang yang diteleponnya di luar jangkauan.
Gadis dengan sisa air mata di sudut matanya terduduk di tepi kasur. Ia tertunduk dengan mata yang dipejamkan erat. Sepucuk kertas masih ia genggam meski sudah tak berbentuk. Surat yang mengundang kemarahannya hingga timbul ribuan pertanyaan yang tak akan mendapat jawaban. Hanya lenguhan lelah yang menggambarkan kecewa berat sudah percaya pada lelaki semacam itu.
Yova membuka matanya, sejenak ia melirik kertas itu.
"Karen, Papah titip kakakmu, jangan sampai dia telat makan dan perhatikan jadwal belajarnya jangan sampai dia sakit. Gunakan uang ini sebaik-baiknya untuk menunjang nutrisi kakakmu. Karen, berusaha lebih giat lagi jangan membebani kakakmu. Jangan cari papah."
Isi surat itu sangat jelas di ingatannya. Surat yang ditujukan untuk adiknya, Yova bersyukur malah ditemukan olehnya tanpa sengaja saat mencari bolpoin di kamar Karen. Rasa penasaran yang menggebu-gebu membawa dirinya ke dalam kekalutan yang lebih jauh. Buku harian sang adik ia baca, sepenggal kalimat yang tertulis di sana membuat hatinya sesak. Coretan beraturan menuliskan ancaman, tanpa diberi tahu pun Yova dapat mengerti ancaman itu dari rentenir tempo hari. Ntah kapan rentenir itu menemui Karen lagi, membayangkannya saja membuat Yova mengepalkan tangannya kuat-kuat ada sorot marah di matanya.
Tak membuang waktu, Gadis itu bangkit tuk mempersiapkan diri, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sejenak, ia menyeka air mata yang membasahi pipi. Dalam gerakan cepat gadis itu sudah berganti pakaian dengan yang lebih rapi. Laci meja rias dibukanya, Yova terdiam sejenak kala mendapati kotak kecil yang dilapisi beludru hitam. Gadis itu mengangguk yakin lantas mengambil kotak itu.
Yova keluar kamarnya lalu mengintip ke pintu kamar sebelah yang sedikit terbuka. Pintu kayu dengan gantungan bernama Karen dibuka perlahan agar sang adik tak terbangun. Gadis yang sudah memakai jeans hitam dan sweater hitam itu terduduk di tepi ranjang adiknya. Elusan lembut di pucuk kepala Karen seolah menyampaikan maafnya yang tak pernah terucap.
"Sejak kapan lo kerja di tempat penitipan hewan sampe pulang malem? Kenapa lo gak bilang kalo papah gak bayar iuran lo juga? Kenapa lo gak cerita ke kakak kalo rentenir mau ambil rumah kita kalo papah gak bisa lunasin utangnya?" tanya Yova runtut dalam hatinya.
Yova melihat buku harian Karen yang tergeletak di atas seprai merah muda, perhatiannya direnggut oleh angka yang dilingkari stabilo kuning, tujuh juta rupiah per bulan. Hembusan napas lelah terdengar, Yova lantas menenggakkan kepalanya menahan tangis. Ia kembali memandang Karen sambil mengusap surai hitam tebalnya.
"Papah udah pergi, Dek... Tinggal kita berdua di rumah ini. Kakak bakal jaga lo sebaik-baiknya, jangan berusaha terlalu keras Dek, kakak masih di sini bakal ada buat lo kapanpun lo butuh. Kakak bakal ubah sikap agar esensi rumah yang sebenarnya kerasa lagi kayak dulu, saat bunda sama papah masih baik-baik aja," Yova mengikis jarak dengan adiknya, ia mendekatkan bibirnya persis pada telinga Karen.
KAMU SEDANG MEMBACA
M E M A K U [Hiatus]
Mystery / Thriller"Hati-hati kasih hati, jangan percaya siapa pun." Itu yang dia katakan. Pemuda yang merusak sekaligus mengharumkan nama sekolah. Pemuda berandal dengan sapaan menjijikkan yang membuatku tak percaya kata-katanya sampai dia mengatakan... "...kisah pak...