"Hi Chelsea, lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu? Kamu masih ingat aku? Ini aku Narel. Bisakah kita bertemu hari ini? Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu."
Final ketikan Narel terkirim pada teman SMP nya itu. Belum sempat istirahat, ponselnya kembali berdering mendapat panggilan. Hembusan napas kasar terdengar sebelum mengangkat telepon, raut wajah tegang semakin kentara dengan gurat kesal.
"Semuanya berjalan lancar, sebentar lagi keadaan akan kembali seperti semula. Persiapkan dirimu Narel jangan berhenti belajar dan berlatih, sedikit lagi kamu akan sampai. Tidak usah mengakhawatirkan ibumu, ayah sudah mendapatkan pendonor untuknya," cetus ayah Narel bersemangat dan sedikit saru kendaraan.
Mimik kesal seketika berubah cerah, binar matanya menampakan haru yang luar biasa. Satu-satunya hal yang ia harapkan sejak lama akhirnya terwujud, "Sekarang ayah dimana? Ayah di rumah sakit? Aku akan ke sana!" pekik Narel sangat antusias.
"JANGAN! Ayah sudah bilang, belajar dan berlatih Narel! Waktumu tidak lebih dari dua bulan lagi, jangan sia-siakan itu. Fokus pada dirimu sendiri, jangan sampai reputasi yang sudah ayah rintis kembali hancur! Jika kau anak ku jadilah kelebihanku, bukan kekuranganku!" tegasnya langsung menutup telepon.
Narel menghela napas berat seraya melempar ponselnya ke meja berlajar. Dengan pikiran cepat, Ia bangkit menyambar sweater dekat pintu lalu keluar dari kamar. Langkahnya dibawa tergesa sambil mengingat-ingat alamat rumah Chelsea. Narel harus segera menemuinya agar bisa kembali sebelum ayah pulang.
Pemuda itu membawa helm di atas motor dan memakainya sembari berjalan ke arah gerbang. Tepat setelah helm terpasang, gerbang dibuka kuat-kuat.
"Halo, selamat siang..." suara berat terdengar sangat tegas.
Sontak, Narel mendongak didapatinya pria berkulit eksotis dengan masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Ia berdiri tegap dengan tinggi yang menjulang di depan mobil silver buatan Jepang.
"Siang... Ada yang bisa saya bantu?" heran Narel, matanya berlari liar mencari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Lencana emas dengan diameter tidak lebih dari tiga sentimeter merenggut atensinya. Narel berdecih menyadari ukiran antik berbentuk huruf F dan A di lencana itu.
Narel mengerling sambil berpikir, "Ah, aku paham lagi-lagi seperti ini. Bu Yovani memerintahkanmu ke sini, kan? Bilang padanya, aku tidak akan meloloskan Jevan kali ini, tidak ada alasan yang membenarkan tindakannya," cetus Narel lantas menutup gerbang dengan kasar, berharap orang itu pergi.
***
"...Ramai diperbincangkan, seorang gadis jatuh di kawasan Excelsior Grand Hotel yang tak sengaja tertangkap dalam unggahan warganet. Sampai saat ini, polisi masih enggan memberikan pernyataan dan bungkamnya pihak hotel menimbulkan kecurigaan pada kaum elit..."
Jevan membanting remot setelah menekan tombol power-off, siaran televisi hanya membuat kepalanya berdengung nyeri. Meja kerja menjadi objek kekesalannya, dipukul brutal menimbulkan sedikit retakan, "Kenapa bisa masuk pemberitaan, bangsat!" keluh Jevan lalu menghentakkan punggungnya ke sandaran kursi.
Napasnya terengah-engah sebab emosi yang meluap. Bahkan, beberapa jam lalu Jevan sudah mengecek ponselnya demi memastikan sekelebat bayangan yang sempat muncul di kepalanya. Menduga-duga ada orang lain di hotel itu namun hasilnya nihil, tidak ada riwayat panggilan pada siapa pun tempo malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
M E M A K U [Hiatus]
Mistério / Suspense"Hati-hati kasih hati, jangan percaya siapa pun." Itu yang dia katakan. Pemuda yang merusak sekaligus mengharumkan nama sekolah. Pemuda berandal dengan sapaan menjijikkan yang membuatku tak percaya kata-katanya sampai dia mengatakan... "...kisah pak...