2. Rumahku adalah Surgaku?

198 30 0
                                    

Berada di tengah kepadatan lalu lintas, gadis bersegaram putih abu yang menggendong ransel transparan khusus hewan peliharaan menghentikan scoopy hitamnya saat lampu hijau beralih merah. Sejenak, dirinya kembali diingatkan pada kejadian di parkiran sekolah.

Saat pulang sekolah, Karen berdiri di samping scoopy-nya. Karen dengan rasa penasarannya membuka secarik surat yang dibungkus map cokelat. Surat dari wali kelas untuk papahnya. Surat yang diberikan tepat setelah wali kelas menyita rapor Karen. Ada dua poin yang tertanam jelas di pikirannya.

... enam bulan terakhir, biaya bulanan sekolah ananda Karen Novata Aqulia tidak terpenuhi.

... jika dalam kurun waktu satu minggu tidak ada kepastian terkait pemenuhan kewajiban tersebut, pihak sekolah mempunyai hak men-drop out siswi yang berhubungan tanpa persyaratan apa pun.

TINN! TINN!

Karen mengerjap, menyadari lampu telah berubah hijau, ia kembali menggas motornya sebelum mendapat omelan dari pengendara yang lain.

Apa karena belum membayar uang bulanan rapor Karen ditahan?

Beberapa menit di perjalanan, Karen akhirnya sampai di depan gerbang abu rumahnya. Karen mengurungkan niatnya untuk turun dari motor karena gerbang terbuka begitu saja. Sosok pria pertengahan empat puluh tahun dengan tubuh tingginya menyembul dari sana.

"Karen? Udah pulang kamu. Bantu papah buka gerbangnya ya, papah buru-buru ini ada kerjaan," pinta Irawan sambil menunjuk-nunjuk jam tangan di pergelangan tangannya.

Karen langsung saja turun dari motornya. Alih-alih menuruti perintah Sang papah, gadis yang masih memakai helm hitam agak kebesaran dan ransel besar berisi hewan peliharaan itu berlari ke arah papahnya. Rasa penasaran yang bernaung di hatinya tak bisa ia tahan.

"Pah, tunggu sebentar. Ada yang ma-"

"Udah, nanti aja bicaranya. Sekarang, bantu papah buka gerbangnya, papah buru-buru ini ada hal urgent." Irawan melengos menuju garasi yang berhadapan langsung dengan gerbang.

"Pah-"

"Cepet Karen!" titahnya sembari masuk mobil.

Karen mengembuskan napas pasrah. Sorot lelah sangat kentara di matanya. Begitu pun dengan gerak-geriknya yang tidak semangat seperti biasanya. Karen mendorong gerbang itu sekuat tenaga. Sesaat setelah gerbang terbuka sepenuhnya, Avanza hitam keluar pelataran rumah.

Karen kembali menaiki motornya untuk dimasukkan ke garasi. Tapi, gerakannya terhenti begitu Avanza itu kembali dan membunyikan klakson. Disusul dengan kaca mobil yang terbuka menampilkan papahnya yang memegang kemudi.

"Papah simpen bakso kesukaan kakakmu di meja pantry. Kalo dia udah pulang, angetin baksonya. Kasian dia jam segini belum pulang pasti kecapean banget. Oh iya, papah lupa kesukaanmu yang gimana, jadinya papah gak beliin."

"Iya iya iya," jawab Karen enggan melihat wajah papahnya. Ia hanya melajukan motornya lalu memarkirnya di pelataran rumah.

"Jangan lupa Karen, bantu kakakmu minum obat mag-nya!"

"Iya!" sentak Karen sembari menutup gerbang.

"Kalo papah bicara dengerin baik-baik! Kamu ini jadi anak gak hargain papahnya sendiri, beruntung papah masih sabar hadepin kamu," pepatah Irawan sambil menutup kaca mobil.

M E M A K U [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang