Pemuda tinggi berjalan mondar-madir di depan kamar nomor 1722. Tangannya meremat erat ujung kaos putih, mulutnya tak henti mengumandangkan doa berharap yang terbaik untuk ibunya di dalam sana. Sesak kian menjalar ulu hatinya, Narel mengutuk dirinya sendiri yang bodoh. Bodoh karena tak bisa menjaga ibunya dengan baik.
Berniat menghubungi ayahnya yang sedang dinas di luar kota pun tak memungkinkan. Mengingat ponselnya hilang ntah sejak kapan, Narel menduga sepertinya benda pipih itu terjatuh di perjalanan menuju rumah sakit. Sosoknya terdiam kala mendengar pintu terbuka.
Keluarlah dokter berbalut jas putih seraya melepas stetoskop yang menempel di telinga, "Jantung Ibu Arini semakin lemah, sekarang beliau tidak bisa melakukan perawatan mandiri di rumah. Tubuhnya tidak mampu bertahan lagi hanya dengan infus, beliau sangat memerlukan perawatan intensif di rumah sakit," jelas dokter panjang lebar.
Narel mengangguk disertai bulir cairan hangat yang mulai mengaburi pandangannya.
Dokter tinggi dengan wajah terpahat apik menorehkan kesan pilu berempati pada pemuda di hadapannya. Jemari kuning langsat mengusap pundak Narel perlahan seolah menyalurkan semangat, "Untuk saat ini hanya itu yang bisa saya sampaikan, selebihnya saya perlu bicarakan langsung dengan ayahmu,"
"Ayah sedang tidak di sini, sekitar tiga hari lagi baru pulang. Saya akan berkabar secepatnya jika ayah sudah pulang, Dokter," jawab Narel sesopan mungkin.
Kedua lelaki itu melangkah berlawanan arah. Narel menggeser pintu kamar, kakinya seperti kelu tak sanggup melangkah lebih dalam. Wanita kurus kering yang terbaring di ranjang menambah sesak di dada. Ruang di hatinya seakan tak mengenal rasa selain pedih dan khawatir.
"Nana..." sapaan Arini sambil menebar senyum penuh arti pada putra sematawayangnya.
Mati-matian Narel menahan tangisnya, membayangkan betapa tersiksanya sang ibu di sana. Menggantungkan hidup pada seutas selang infus dan peralatan lainnya yang turut menyumbang energi. Menetapkan asa walau tahu fakta yang menentang harap.
Narel mengatupkan bibir bergetarnya, manik hitam itu menangkap sorot sesal dari tatap ibunya. Dalam hati Narel memaki diri membabi buta, sudah ceroboh mengutarakan isi hati putus asa saat di rumah beberapa jam lalu. Senyum tipis diukirnya di bibir merah muda itu mengumbar kesan bahagia agar malaikat tak bersayapnya tidak merasa bersalah.
Narel menarik kursi tuk terduduk di samping ranjang. Jemari panjangnya meraih tangan kurus menampakkan tulang belulang yang mencuat. Dikecupnya punggung tangan sang ibu.
Wanita yang sebentar lagi menginjak usia kepala enam itu tersenyum miris. Bagaimana pun, ia adalah wanita yang melahirkan dan membersarkan pemuda di hadapannya. Senyum manis yang terukir di wajah Narel tak bisa membohonginya, sorot anaknya mengutarakan kepiluan. Wanita itu merengkuh tubuh anaknya, mengusap lembut surai hitam itu. Dirinya tak bisa melakukan apapun saat anaknya mati-matian memperjuangkan cita-cita.
"Maaf... karena keadaan ibu yang seperti ini Nana perlu berjuang lagi. Nana lelah ya? Ibu hanya bisa memberikan semangat pada Nana dari sini. Maaf ibu tidak bisa menepati janji..." lirih Arini memberikan elusan hangat pada punggung putranya.
Batin wanita itu terluka seakan pisau tumpul menerobos hatinya tanpa jeda. Arini tak naif mengakui dirinya selalu menaruh ekspektasi besar pada tunggalnya. Arini marah pada dirinya sediri yang kini tak bisa melakukan apa-apa sampai tabungan pendidikan anaknya pun habis dipakai biaya pengobatan.
Terdiam sejenak, Narel mengigit bibir bawahnya tak ingin isakan terdengar ibunya, "Ibu dengar semuanya ya?" ragu-ragu lirihan pemuda itu terdengar.
Arini mengangguk perlahan, wanita yang memiliki uban disela-sela rambut hitamnya itu melepas pelukan. Jemarinya membawa rahang Narel agar saling bertukar tatap dengannya,"Iya ibu dengar," singkatnya mengulas senyum kala putranya terang-terangan menahan air mata agar tak jatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
M E M A K U [Hiatus]
Mystery / Thriller"Hati-hati kasih hati, jangan percaya siapa pun." Itu yang dia katakan. Pemuda yang merusak sekaligus mengharumkan nama sekolah. Pemuda berandal dengan sapaan menjijikkan yang membuatku tak percaya kata-katanya sampai dia mengatakan... "...kisah pak...