9. Karena Aku

133 21 13
                                    

Jawaban operator tanda panggilan tidak terhubung mengalun pelan di telinga, suaranya perlahan hilang dibawa terbang angin malam. Kembang api sudah jarang mekar di langit, pun udara dingin semakin menusuk seolah menembus tulang. Wajah pucat tambah kaku, pandangan datar berubah kosong sampai-sampai tak menyadari orang-orang di sekitar yang menatap dengan sorot takut penuh kecurigaan.

Karen menunduk menatap lurus pijakannya, sesekali matanya melirik secarik kertas yang digenggam tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya sedikit bergetar sebab ponsel kehabisan daya. Berniat ingin pulang ke rumah malah tersesat di tempat ramai yang sangat asing baginya. Tak disadari langkahnya kini menempuh area penyeberangan orang bahkan saat lampu lalu lintas masih hijau.

Otaknya tak bisa berpikir jernih, seluruh tubuhnya diambil kendali oleh hati retak yang tak tahu arah. Kepalanya diisi penuh pikiran-pikiran buruk terkait kejadian mengejutkan beberapa jam lalu. Belum lagi ayahnya tidak bisa dihubungi setelah dicoba belasan kali. Dan secarik kertas berisi tagihan rumah sakit turut menyumbang beban di benaknya.

Berjarak beberapa meter dari tempat gadis itu berjalan, diam-diam dalam kubungan interior mewah mobil berharga fantastis terdapat seorang pria tengah memerhatikan Karen lamat-lamat. Rahangnya tampak mengeras, memendam rasa tak sabar ingin menepikan gadis yang berada di antara lalu lalang kendaraan. Sayangnya, ia berada di jalur lampu merah.

"Tu anak buta? Lagi lampu hijau ngamain nyabrang, goblok!" maki Jevan lalu menyibak surai pirangnya furstasi.

Pria itu mengedarkan pandangan, terlihat motor dan mobil yang melaju dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya. Mereka memanfaatkan jalanan yang cukup lengang pada dini hari. Mata elang itu beralih melihat sisi kanan Karen, matanya terbelalak mendapati sebuah sedan merah yang melaju dengan kecepatan diatas rata-rata. Ia menggulirkan tatap pada Karen yang berjalan lambat di zebra cross.

"Shit!"umpat Jevan seraya menginjak gas kuat-kuat persetan dengan lampu merah yang penting ia harus sampai sebelum satu menit di hadapan Karen.

Jevan menginjak rem menimbulkan suara decitan antara ban dan aspal yang sangat kontras. Bahkan, ia harus menarik tubuhnya ke belakang agar tidak terantuk kemudi. Tak menunggu lama, bunyi memekakkan menguar tanda perkenaan dua material keras yang cukup kuat. Tubuh Jevan agak terpelanting ke samping, bahkan McLaren putih yang ditumpanginya tergeser beberapa meter ke sebelah kiri saat tabrakan terjadi.

Bukan tabrakan fatal karena rupanya pengemudi sedan itu sempat menginjak rem. Namun, tetap akibatnya mobil Jevan tergores dan biaya reparasinya bisa lebih mahal dari harga mobil yang menabraknya. Jevan membuka kaca, melayangkan sorot tajam tepat pada pengemudi itu walau tahu semua ini sama sekali bukan kesalahannya.

"LO NYETIR YANG BENER BANGSAT!" pekik Jevan lantas mengaumkan mobilnya dan bergegas menuju Karen yang sudah ada di seberang jalan.

Cepat-cepat Jevan menepikan mobilnya tak jauh dari tempat Karen memijakkan kaki. Lalu keluar dengan napas yang menderu. Langkah jantan dan kesan otoriter yang dominan tertanam pada pemuda itu. Langkahnya dihentikan persis di hadapan Karen.

Gadis itu turut berhenti lalu mendongak sadar akan jalurnya dihalangi. Didapatinya tatap tajam Jevan yang penuh akan binar kemarahan. Karen memalingkan wajah seraya menyeka sisa air mata.

"Gue gak ada ur-"

"GILA LO! LO CARI MATI, HAH! Ngapain barusan kayak gitu? Lo gak mikir, gimana kalo lo ketabrak?" cerca Jevan sambil mengguncang bahu sempit itu, kesal pada Karen yang tak kunjung menatapnya.

Karen terdiam, tubuh lelahnya menjadi gemetar terkejut akan sentakan Jevan. Sorot marah itu mengintimidasinya, pria yang ada di hadapannya ini tidak seperti Jevan yang ia kenali. Karen beringsut mundur untuk melepas cengkaraman Jevan di bahunya, namun nihil. Jevan malah membawa dagunya agar mendongak dan bertatapan langsung dengan netra kelam itu.

M E M A K U [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang