8. Apa yang Terjadi?

104 24 3
                                    

Brughh...

Dhuarr!

Tubuh putih pucat terhentak keras mengenai permukaan tanah bersamaan dengan kembang api paling meriah meledak di langit gelap. Rerumputan hijau yang tumbuh di sana bertukar merah dialiri darah segar. Tubuh kurus itu terlalu kelu untuk merasakan sakitnya tubuh. Tulang belulang yang patah tak terasa walau suara terdengar sangat kontras. Sobekan di sekujur badan bukan lagi luka yang utama setelah sudut matanya menangkap sosok gadis yang berlari mendekat.

Kenapa Karen ada di sini?

Sekelebat pertanyaan berlari di otaknya yang hampir tidak berfungsi. Yova bungkam karena keadaannya mengenaskan, kekecewaannya pada diri yang terlalu lemah bahkan tidak bisa bertahan untuk mengucap maaf pada adiknya. Tangisan pecah saat Karen berhenti lari dan bersimpuh di sampingnya. Diam-diam gadis yang tidak berdaya itu mengutuk dirinya yang gagal menebus kesalahan pada sang adik yang selama ini diperlakukan tidak adil.

Karen membungkuk, menyelinapkan kepalanya di perpotongan leher Yova. Tidak memedulikan darah yang mengotori pipinya dan rambutnya. Mata dipejamkan erat membiarkan tangis mengalir lebih deras di sana, mencurahkan sesak yang membenam di lubuk hati.

"Kak Yova..." isak Karen dengan suara gemetar.

Karen merasa jantungnya berhenti berdetak saat itu juga. Dirinya kalut dengan air mata membasahi seluruh permukaan wajah. Peluh dingin keluar dari kening karena cemas dan khawatir yang bercampur duka. Bau amis segar memenuhi indra penciumannya saat atmosfer dingin membekukan jaringan kulitnya.

Yova terpejam erat merasakan sakit yang teramat menyiksa, menjalar dari ujung kaki perlahan ke pangkal paha. Ingin mengerang namun tak bisa. Satu detik pun terasa lebih lama dari sepuluh jam.

Karen gemetar hebat, jantungnya tiba-tiba berpacu secepat kilat. Telinganya dengan jelas mendengar hembusan napas Yova yang tersumbat. Karen menarik napas dalam, susah payah menahan tangisan agar tak mengganggu mulutnya yang ingin berucap. Tuturan lembut doa-doa mengalir halus dari mulut kecil itu. Karen membisikannya supaya Yova bisa mengikuti.

Beberapa menit berlangsung seperti itu, sampai pada jarum pendek jam menunjuk angka 1 dan jarum panjangnya berhenti di angka sepuluh. Yova mengembuskan napas terakhir di dekapan sang adik.

Tangis Karen pecah, ia tidak memedulikan apa pun lagi. Yova dibawa kepelukannya lebih erat, persetan dengan darah yang akan mengotori pakaiannya. Seonggok pedang seolah menusuk tajam mengoyak seisi hatinya, Karen meluapkan semua penyesalan di ceruk leher kakaknya yang sudah tidak bernyawa. Untuk kedua kalinya Karen menyaksikan orang yang ia sayangi menutup usia dalam dekapannya.

"KARENNN!" teriak seseorang yang lari terbirit-birit.

Gadis yang memakai rok hitam pendek dan jaket kulit hitam itu menghentikan langkah tiba-tiba. Mulutnya dibekap tak percaya kala mendapati kejadian mengenaskan di hadapannya. Neza menghampiri Karen dan merangkul bahu gadis yang terlihat rapuh itu. Memberikan elusan hangat pada Karen yang terisak hebat.

Neza menghela napas berulang kali sampai deru napasnya lebih tenang. Ia merogoh saku jaket, mengeluarkan ponsel lantas menyambungkan panggilan ke nomor 119. "Tolong kirim ambulance ke Excelsior Grand Hotel, korban mengalami luka parah di taman lantai satu samping kanan!" pekik Neza.

Gadis itu mengakhiri panggilan lalu beralih ke nomor darurat kepolisian.

Grep!

Tangan berurat Neza dicekal mendadak dari belakang. Ia menoleh dan mendapati Lilly dengan keadaan sedikit kacau. Tampak air mata dan peluh di dahi, juga napas yang terengah-engah.

"Jangan telepon polisi! Narel yang bawa kita ke sini, dia harus bikin keputusan atas masalah ini. Lo juga tahu kalo udah nyangkut polisi urusannya bakal panjang," telak Lilly lalu melepas genggaman dari tangan Neza.

M E M A K U [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang