Nad's Problem

67 18 1
                                    

⚠️Warning this chapter contains patriarchy and toxic parent ⚠️

Seharian ini Nadira banyak berkegiatan di luar rumah walaupun hari minggu. Pagi hari dia ada janji buat nongkrong bareng teman-teman SMA nya, habis itu dia lanjut silaturahmi ke rumah sepupunya yang ada di Bogor, balik dari Bogor dia janjian nonton sama Kanza. Jadinya Nadira bener-bener sampai rumah jam 8 malam, badannya udah capek banget walaupun begitu dia merasa senang. Setelah memarkirkan motornya di depan garasi, Nadira berjalan sembari melompat-lompat kecil mengikuti irama yang dia senandungkan. Namun, langkahnya mulai memelan setelah dia mendengar secara samar keributan yang berasal dari dalam rumahnya.

Nadira berhenti bersenandung dan raut wajah senang di wajahnya berubah menjadi datar, meskipun begitu dia tetap menguatkan hatinya memegang kenop pintu masuk rumahnya. Baru saja terbuka sedikit, suara perdebatan yang terjadi antara ibu dan ayahnya dapat makin jelas terdengar.

"Keluarga kita lagi susah. Kamu harus coba ngomong sama Nadira untuk berhemat dan gak minta macem-macem. Yang terpenting sekarang, kita bisa kirim uang buat kebutuhan Asta kuliah di Semarang."

"Mau berhemat kayak gimana lagi? Kamu pikir selama ini Nadira foya-foya? Dia gak pernah ya minta uang buat main-main. Emang dasarnya penghasilan keluarga kita yang gak seberapa, apalagi ditambah kamu udah pensiun, mana nafkahin keluarga adik kamu segala. Coba kalau dulu kamu gak larang-larang aku buat kerja, keluarga kita gak mungkin hidup pas-pasan kayak gini!"

Habis itu Nadira gak denger apa-apa lagi karena dia memutuskan untuk menutup pintu kembali dan berjalan menjauhi rumahnya. Selalu begitu, keuangan yang sedang tidak baik memicu pertengkaran kedua orang tuanya. Setiap kali orang tuanya bertengkar pasti nama Nadira akan ikut terseret di dalamnya untuk segala masalah yang terjadi. Masih segar di ingatan Nadira dulu waktu dia mengutarakan niatnya buat kuliah di Surabaya respon ayahnya bener-bener ngebuat dia sampai sekarang jadi canggung tiap kali berinteraksi. Ya gimana enggak, belum apa-apa ayahnya udah nyuruh Nadira untuk kuliah di Depok aja karena ayahnya gak bisa membiayai dua anak yang memilih merantau. Tanpa Nadira dikasih kesempatan untuk jelasin alasannya.

'Kenapa Mas Asta boleh milih, sedangkan gue selalu gak punya pilihan?'

Ayahnya dulu gak pernah ngasih wejangan ke Asta untuk kuliah di Depok. Dimana pun Asta pengen kuliah walaupun perlu biaya yang besar, ayahnya akan selalu mengupayakan dan hal tersebut gak berlaku buat Nadira. Pernah Nadira menanyakan alasan kenapa Asta punya banyak pilihan dan dia enggak, waktu itu jawaban ayahnya amat sangat menyakiti Nadira.

'Asta anak laki-laki, suatu saat nanti dia yang akan menjaga keluarga kita. Sementara kamu, suatu saat nanti ada seseorang yang akan menjaga kamu.'

'Suatu saat nanti, Satria dan Asta akan menjaga kamu, itu kenapa prioritas ayah lebih tinggi ke kakak-kakakmu'.

'Apakah Nadira tidak boleh mendapatkan banyak pilihan untuk menjaga dirinya sendiri? Dia tidak pernah meminta untuk dijaga oleh siapapun.'

Ingatan-ingatan menyakitkan itu kembali terputar di otak Nadira, hingga tanpa sadar air mata menggenang di pelupuk matanya. Nadira mendongakkan kepalanya berharap air mata itu tidak jatuh, dia tidak ingin air matanya terbuang sia-sia hanya karena pemikiran patriarki ayahnya yang tidak akan membantunya.

Langkah Nadira tertuju ke rumah Dito yang kelihatan gak ada penghuninya. Dia pun berbalik arah gak jadi untuk menyendiri di rumah Dito karena kunci rumahnya kemarin dia pinjemin ke Angkasa belum dibalikin. Pada akhirnya Nadira cuma bisa duduk dengan kepala tertunduk di pos kamling. Dia benar-benar gak pengen pulang ke rumahnya.

Satu jam, dua jam. Bahkan ditegur suruh pulang sama Pak Satpam yang mau keliling aja Nadira cuma ngangguk doang. Jalanan komplek udah mulai sepi, tapi Nadira gak ada niat beranjak sedikitpun. Orang tuanya gak ada satupun yang mengkhawatir- kan Nadira walau jam 11 belum kelihatan batang hidungnya di rumah karena kalau habis berantem yang mereka pikirkan cuma diri mereka sendiri.

Lay Your Head On MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang