32. Flashbacks

520 23 7
                                    


Gadis kecil itu sesekali melihat ke belakangnya. Memastikan tak ada orang yang akan melihat atau lebih parah mengejarnya.

Semenjak 3 tahun lalu, kedua orang tuanya makin gencar membuat gadis kecil itu sebagai mesin penghasil uang.

Seolah putrinya yang saat ini akan menginjak usia 9 tahun itu merupakan ATM berjalan untuk kekayaan dan ketenaran mereka tanpa berpikir bahwa anak yang seharusnya mereka rawat dengan baik justru diperlakukan sebaliknya.

Nafasnya tersengal-sengal akibat terlalu lama berlari tanpa henti.

Gadis kecil itu memutuskan istirahat sejenak, ia melihat danau tak jauh dari sana. Danau itu cukup indah dan asri. Didekatnya ada sebuah rumah yang nampaknya sudah tak berpenghuni, terlihat dari pekarangan rumah yang kotor dan ditumbuhi semak-semak.

"Hufttt...aku merasa sangat lelah." gumamnya sembari duduk di tepi danau.

Ia melirik jam tangan bercorak strawberry tersebut yang kini menunjukkan pukul 5 sore.

Kedua orang tuanya pergi keluar kota selama beberapa hari sejak pagi tadi. Untuk itulah dia memiliki kesempatan agar bisa menikmati harinya sendiri diluar tanpa ditemani penjaga.

Merasa bosan, gadis kecil itu kemudian berjalan pelan mengelilingi danau. Selain rumah kosong juga ada hutan kecil tak jauh dari danau.

Gaun putih selutut yang dikenakannya sudah kotor akibat terkena debu dan tanah. "Danau ini indah sekali." ucapnya takjub. Ia melihat pantulan wajah cantiknya di danau tersebut. Sesekali menyentuh airnya yang berwarna kehijauan dan terasa dingin.

"Ah, aku ingin merendam kakiku disini." katanya.

Ia mengangkat gaun putihnya hingga setengah paha. Gadis kecil itu terlihat cantik dan manis dengan kulit secoklat caramel.

Ketika hendak menurunkan satu kakinya, tiba-tiba gadis kecil itu terpeleset hingga terjatuh ke dalam danau. Selama beberapa saat, ia tak bisa menggerakkan tubuhnya yang terasa kaku.

Suaranya yang ingin berteriak meminta tolong teredam oleh riak air.

Gadis itu tenggelam semakin dalam. Disaat kesadarannya hampir menghilang, ia bisa melihat ada seseorang yang berenang cepat ke arahnya. Membawa tubuh gadis kecil itu ke dalam dekapannya.

Mereka berhasil ke tepi danau dengan selamat. Samar-samar gadis kecil itu bisa melihat wajah seorang pria yang terlihat seumuran dengannya. Ia berada dalam dekapan pria itu sekarang.

Tanpa sadar mereka bertatapan selama beberapa saat. Gadis kecil itu tersenyum tipis sebelum kehilangan kesadaran seutuhnya.

Acathexis

Aroma lavender yang menenangkan merasuki indra penciumannya. Matanya terbuka perlahan. Hampir tak ada cahaya yang menerangi ruangan asing itu selain satu lilin didepan sebuah kanvas kosong.

Saat menoleh ke sebelah kirinya, gadis kecil itu menemukan siluet seorang pria berdiri tepat didepan jendela besar yang tertutup tirai abu. Di sela-sela tirai itu, ia bisa melihat sinar rembulan yang begitu terang diluar sana.

Gadis kecil itu bangkit lalu mencoba melangkah menghampiri pria tersebut. Namun sesekali ia berhenti melangkah saat merasa kepalanya berdenyut sakit dan badannya terasa lemas.

Menyadari derap langkah kaki dibelakangnya, remaja pria yang terlihat hampir seumuran dengannya itu berbalik. Menemukan gadis kecil itu juga tengah memandanginya dengan polos. Untuk sesaat, ia merasakan ada sensasi aneh yang menjalar dalam hatinya.

"Kau yang menyelamatkanku kan?" tanya gadis itu namun sang pria hanya diam tak meresponnya.

Selama beberapa saat, suasana menjadi hening. Gadis kecil itu memperhatikan seisi ruangan yang bernuansa gelap. "Apa lampunya mati?" tanyanya lagi namun pria itu masih diam tak meresponnya meski ia hanya menatap pada gadis itu saja sejak tadi.

Ada banyak pertanyaan mengenai siapa, dimana, dan kenapa ia bisa disini sejujurnya. Sebab pria ini hanya diam sejak tadi sembari menatapnya dengan tatapan aneh.

Tapi satu hal yang pasti, rumah ini sangat sunyi. Seakan tak ada kehidupan lain selain dia dan pria disampingnya tersebut di rumah ini.

"Namaku Helvetia Chicago. Dan kau?" tanya gadis itu lagi berusaha mengajak pria itu bicara.

Beberapa saat tak ada jawaban. Saat Chicago ingin bertanya kembali, pria itu akhirnya bersuara.

"Travis." balasnya singkat.

Gadis bernama lengkap Chicago Helvetia J. itu tersenyum lembut. "Kau hanya sendiri disini?" Travis, remaja lelaki itu pun mengangguk.

"Terima kasih sudah menyelamatkanku. Tapi...bagaimana bisa kau tinggal sendiri di rumah ini? Apa kau tidak merasa takut, Travis?"

"Tidak." balas Travis. Ia menarik pelan tangan Chicago dan membawanya ke ranjang. "Tidurlah. Ini sudah larut malam."

Chicago tersenyum tipis. Gadis itu membaringkan tubuhnya dengan nyaman dibalik selimut sebelum matanya terpejam dan terlelap ke alam mimpi.

Sementara Travis tak melepaskan pandangannya pada gadis itu sejak tadi. Ia duduk di sofa tak jauh dari tempat tidur Chicago berada.

Lelaki yang rupanya masih berusia 12 tahun itu tersenyum miring menatap gadis yang barusan diselamatkannya.

"My dear...Helvetia Chicago." gumamnya dalam kesunyian.

Acathexis

Berita hilangnya seorang gadis kecil bernama Helvetia Chicago J. itu cukup membuat orang-orang kaget sebab gadis kecil itu merupakan putri dari pasangan selebriti yang lumayan terkenal.

Dikatakan bahwa Chicago belum ditemukan sejak tiga minggu lalu. Bahkan para saksi mata disana seperti para pelayan pun mengaku tak tahu kemana Chicago pergi setelah hari itu.

Dan selama tiga minggu itulah Chicago menghabiskan waktunya dengan remaja lelaki yang telah menyelamatkannya di danau saat tenggelam. Chicago senang Travis tidak bersikap kaku lagi padanya.

Malahan mereka sering bercanda, berpetualang dan memasak bersama.

Chicago sejujurnya masih bingung dimana keberadaan keluarga Travis. Agak sedikit aneh saat ia mengetahui Travis benar-benar tinggal sendiri di rumah yang cukup besar dekat danau itu.

Ya. Rumah Travis adalah rumah yang sempat ia kira tak berpenghuni tersebut. Dari luar, rumah itu kelihatan kusam dan kotor. Namun rupanya Travis tak pernah membuka pintu luar dan membuat depan rumahnya seolah merupakan rumah kosong. Jadi mereka masuk melewati pintu garasi yang tersambung dengan dapur.

"Travis?"

"Hm?"

"Aku bosan. Apa yang akan kita lakukan sekarang??" kata Chicago.

Travis diam sesaat. "Mau dilukis?"

Mendengar itu, sontak Chicago mengangguk antusias. Travis terkekeh dan menarik tangan gadis itu ke ruang lukis yang sudah disiapkannya.

Di sebuah kanvas kosong, Travis mulai memposisikan Chicago menjadi objek lukisannya.

Pria itu tersenyum misterius. Kian lama tatapannya berubah menjadi obsesi yang berbahaya. Untuk sesaat, Chicago bisa melihat kedua mata Travis berkilat tajam.

Beberapa jam berlalu, lukisan itu selesai. Menampilkan potret seorang Chicago Helvetia Jefferson atau yang lebih dikenal dengan Helvetia Chicago. Dan sebuah tanda dari sang pelukis, yaitu Travis Mikaelmoza.

Ia menggoreskan silet ke jari-jari tangannya hingga darah segar menetes diatas lukisan berisi potret wanita yang ia cintai itu.

My dear, Helvetia...
Travis Mikaelmoza - 1969


ACATHEXIS (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang