8. Yang Terlupakan

215 40 0
                                    

Oh maafkanlah
Rasa sesal di dasar hati
Diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini
Pernah ku mencoba tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti

Iwan Fals

•••|♪♪♪|•••

Di sebuah siang yang temaram, aroma teh yang baru saja disajikan menjadi pelengkap duduk di antara beberapa ambisi manusia yang tersematkan di bumi. Walau redup, Jean masih bisa menikmati langit yang perlahan berubah warna karena waktu.

Ditemani kalut, Jean masih setia duduk di teras rumah Jendra sejak tadi pagi. Ditemani Ayah yang awalnya mengajak untuk bermain catur. Alih-alih bermain catur, Ayah justru memainkan gitar peninggalan anaknya, karena Jean menolak untuk menjadi lawan Ayah bermain catur.

"Di rumah ada siapa?"

Petikan gitar Ayah terhenti begitu saja, karena tahu-tahu Jean melahap pisang goreng di samping teh.

"Cuma ada Ayah, tadi pagi Bunda pergi ke butik," jawab Ayah. Selang beberapa detik Ayah melanjutkan petikan gitarnya.

"Yang berjalan itu waktu atau kita?"

Kali ini Ayah tidak menghentikan petikannya, Ayah justru menyuarakan lagu zaman dulu, karya band Papi yang aktif belasan tahun silam.

"Dua-duanya. Kita berjalan dan waktu juga berjalan," jawab Ayah.

"Waktu berjalan atau berputar?"

"Berjalan, kalau berputar itu sama aja kembali lagi ke awal. Kenapa?"

Jean menggeleng. Rasanya baru saja ia duduk di teras ini dengan pemilik gitar dipangkuan Ayah. Terkadang Jean tidak sadar jika semua itu sudah berlalu.

"Ayah dulu sedekat apa sama Papa Sam?"

Kali ini Ayah justru meletakkan gitar itu di sampingnya. "Dekat sekali, bukan cuma Ayah tapi Papi, sama Papanya Kalesha juga dekat."

"Papanya Nadine? Juga dekat?"

Ayah menggeleng, matanya tertuju pada pagar yang catnya sudah mulai pudar.

"Cuma kenal, yang dekat sama Papanya Nadine cuma Papi. Apalagi Maminya Nadine."

Jean tidak pernah bertemu orang tua Nadine secara langsung, hanya sebatas tahu. Sewaktu kelulusan SMP, hanya orang tua Nadine yang tidak hadir.

"Ryan mau lamar Nadine," ucap Jean.

Ayah langsung tersedak, menatap Jean tak percaya. "Kapan?"

"Belum tau. Dua hari lalu Ryan ke restoran, dia cerita masih ragu mau lamar Nadine karena Maminya."

"Ibu mana yang gak mau punya mantu kaya Ryan? Dia cuma terlalu khawatir, padahal Ayah yakin lamaran dia diterima."

Jangankan Ayah, Jean sendiri yakin seratus persen jika lamaran Ryan akan diterima. Hanya saja, bocah itu takut pada hal yang tidak akan terjadi.

"Kalau Haedar ngelamar Sarah, gimana?"

"Pasti diterima, buat apa pacaran lama tapi gak mau menikah? Ayah sama Bunda gak mau menekankan gimana masa depan anak, selagi mereka bahagia dan cara yang dilalui cukup baik, gak ada alasan untuk kami menolak. Lagian, kalau bukan ke Haedar ke siapa lagi Ayah percaya untuk menjaga Sarah?"

Jean hanya mengangguk. Setelah dilihat-lihat, Ayah nyaris tidak berubah. Suara, dan rupa juga masih sama seperti empat tahun lalu. Lantas Jean bertanya pada keadaan, apa yang berubah di sini?

"Ayah kenal sama Papanya Hadden?"

Ayah menghentikan petikan gitar, memilih untuk melahap pisang goreng terakhir di piring, sebelum kembali pada pertanyaan Jean.

Kita Dan Waktu | Jaemin Ft WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang