17

1K 142 12
                                    

Gulf hanya mampu memandang canggung. Tawarannya terlontar begitu saja. Ia bahkan masih berpikir begitu lidahnya dengan cepat memberi tanya. Dan respon Mew yang hanya memandang lekat wajahnya sama sekali tak membantu.
Apa memang bukan saatnya? Lebih dari itu, apa tubuhnya mau menerima Mew kembali?

Sedikit bercerita, sebulan pertama mereka tinggal bersama, Mew dengan gencar menunjukan gairah seksnya pada Gulf. Lelaki dewasa itu menunjukan bagaimana ia menginginkan tubuh Gulf, hampir setiap saat.
Tetapi, Gulf dengan jelas menjawab sebaliknya.
Bukan. Gulf bukannya tak tertarik. Mereka jelas pernah mencoba foreplay, bahkan hingga Mew sempat memakai condom. Namun yang terjadi setelahnya? Gulf menolak. Tubuhnya jelas tak lagi bergairah.
Sepertinya, penolakan Mew sepuluh tahun lalu masih saja membekas dalam kepala dan hati Gulf. Juga, tubuhnya masih mengingat.

"Lupakan! Lupakan saja."
Gulf sudah berbalik. Hendak memunggungi Mew, ketika suara bariton itu mengalun rendah. Lengkap dengan jemari panjang yang menyentuh kulitnya samar.

"Setelah membangunkannya, kau ingin aku lupa?"

Tidak. Terlalu tidak masuk akal.
"Tak mungkin. Tak ada perbuatanku barusan yang setidaknya mampu membangunkan... itu."

Masih memunggungi. Tapi Mew bahkan bisa melihat telinga Gulf yang memerah parah.
Dan sebagai jawaban, Mew menempelkan tubuh mereka. Hanya kain dari piyama mereka yang membatasi. Jadi, pasti terasa bukan?

"Membayangkanmu, ia mampu terbangun. Mendengarmu, ia sering berdiri. Melihatmu? Menurutmu apa yang terjadi padanya?"

Mew perlahan menarik dagu Gulf, agar wajahnya dapat ia jangkau.

"Melihatmu membuat otakku bekerja ekstra, Gulf. Jika tidak, aku sudah dipenjara karena kasus pemerkosaan."

Ciuman lembut sampai pada bibir Gulf di akhir kalimat Mew. Dan ketika wajahnya kembali menjauh, Mew mampu melihat keraguan luar biasa pada wajah Gulf.

"Apa yang mengganggumu, cintaku? Apa yang menghalangimu disentuhku."

Wajah itu sedikit terkejut. Namun sepertinya, kali ini Gulf benar-benar bertekad. Kali ini, bukan hanya Mew yang amat sangat ingin disentuh.

"Bagaimana jika... jika..." Gulf memejam. Namun setelahnya helaan panjang penanda bulatnya tekad, ia perdengarkan.
"Bagaimana jika aku menolakmu kembali? Bagaimana jika tubuhku masih tak ingin kau sentuh."
Kali ini Gulf berbalik, membiarkan tubuhnya berhadapan langsung dengan tubuh kekar kekasihnya.
"Bagaimana jika semuanya tetap sama seperti berbulan-bulan kemarin? Bagaimana jika pada akhirnya, aku kembali menolakmu."

Mew tersenyum maklum. Namun inginnya terlalu kuat saat ini.
"Maka aku akan bermain solo pada akhirnya. Persis seperti yang sudah-sudah."

Gulf jelas ingin mendebat kembali. Namun Mew tak punya waktu untuk itu.
"Lakukan dulu, Gulf. Nanti, tak akan ada yang tau."

Setelahnya Gulf hanya mencoba menikmati, ketika Mew mulai menjelajah seluruh tubuhnya.

"Kau cantik."

Mata Gulf membuka ketika suara rendah Mew terdengar.

"Sangat cantik."
Pujian itu muncul tepat sebelum Mew memasukan puting Gulf ke dalam mulutnya.

Mungkin karena lidahnya, atau lebih pada kalimat pujinya, tubuh Gulf bereaksi lebih. Kedua tangannya perlahan memeluk kepala Mew.

"Aku menyukaimu, Gulf. Seluruh yang ada padamu."

Mulut Mew memang masih di area dadanya. Namun jemari panjangnya sudah menjelajah. Beralih pada celana Gulf, dan membawa kain itu turun, bersamaan dengan wajahnya yang turun meninggalkan area dada cintanya. Tanda yang ia berikan sudah cukup banyak disana.

The ActorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang