6

1.2K 181 60
                                    

Gulf menunggu. Seperti yang Mew katakan, ia menunggu lelaki itu hingga pukul sebelas malam.
Ia sama sekali tak beranjak dari sofa ruang nonton. Ia tak ingin Mew punya alasan konyol untuk membatalkan pertemuan yang ia minta sore tadi lewat aplikasi pesan di ponselnya.
Alasan-alasan kelewat konyol seperti tak ada yang membuka pintu, aku menghubungimu tapi tak kau hiraukan, aku ke tempatmu tapi tak ada orang. Gulf menghindari segala kemungkinan bahkan yang terkecil sekalipun. Karena jujur saja, ia kelewat kesal atas sikap Mew yang menganggap enteng semuanya.

Ketukan terdengar di hampir pukul satu. Dan tanpa menunggu ketukan kedua, Gulf bergegas membuka pintu.
Benar saja, Mew sudah berbalik ingin meninggalkan unitnya ketika pintunya Gulf buka. Maka Mew berbalik. Tersenyum canggung dan menyapa Gulf dengan kikuk.

"Selamat malam, Gulf. Kukira kau sudah tertidur."

"Kau bahkan baru mengetuk sekali, phi. Apa yang kau harap dari waktu beberapa detik itu?" Gulf menjawab dingin. Agak tak menyangka dengan sikap Mew yang sebenarnya.

"Oohh... uhm, ya. Maaf."
"Masuklah."

Gulf kembali masuk, namun membiarkan pintu tetap terbuka. Jika Mew ingin, ia bisa masuk, atau melanjutkan langkahnya menuju lift, dan melangkah pergi dari kehidupan Gulf. Selamanya.

"Mari bicara."
Ah, ternyata ia ikut masuk juga.
Gulf diam dan hanya mendengarkan.
"Kita melakukan itu? Kau yakin?" Mew bertanya langsung. Sepertinya tak ingin percaya dengan kenyataan yang ada.

"Ya. Tapi aku tak punya bukti apapun. Karena tak ada satu CCTV pun dalam apartemen ini.
Aku tak sekaya atau setenar itu hingga perlu memasang kamera kemanapun aku pergi." Gulf menjawab dingin. Sungguh, cara Mew bertanya membuat Gulf kembali terluka.

Mew yang mendengar itu terdiam sebentar. Tak ada bukti yang menguatkan cerita Gulf, namun masih jelas diingatannya bagaimana cara lelaki muda itu berjalan pagi itu.
Ia lega, tak ada bukti yang nantinya bisa menjatuhkannya dari tingginya karir yang ia bangun.

"Kau... pernah melakukannya dengan yang lain?" Mew bertanya sangsi. Jawaban Gulf akan menentukan banyak hal setelah ini.

"Bukan, kau yang pertama.
Dalam segalanya."/"Shit!!"
Gulf tertegun mendengar makian Mew. Terutama ketika wajah itu berubah tegang. Seakan malam yang merenggut segala milik Gulf adalah satu kesalahan fatal.

"Kenapa melakukannya? Maksudku, meski aku memulai segalanya, menurut pengakuanmu, tapi kau tetap seorang lelaki. Kau bisa menolakku dan mencegah segalanya terjadi.
Jadi kenapa tak menolak, Gulf?" Mew bertanya dengan sedikit memaksa. Matanya tajam menyudutkan Gulf.

"Bukan sekedar pengakuan asal. Kau memang memulai segalanya."/" Lalu kenapa tak kau cegah, breng-hahh- Gulf? Mengapa kau menuruti kemauanku?"
Gulf menegang ditempatnya begitu Mew sedikit merangsek maju dari tempat duduknya.
Mew yang sebelumnya terduduk di kursi kecil disana kini sedikit mencengkram kerah Gulf.

Mata Gulf berkedip perlahan. Sesuatu dalam dirinya teriris pasti melihat bagaimana Mew merespon segalanya sekarang.

"Pergilah, phi. Tenang saja. Aku tak akan membuka mulut pada satu makluk pun dibumi ini tentang apa yang malam itu kita lakukan." Gulf sudah memalingkan wajah.

Cukup sudah. Sekarang ia tau alasan sebenarnya Mew kemari.
Seperti kata Mild, Mew seseorang yang memperdulikan karirnya melebihi apapun itu. Dan satu-satunya alasan mengapa Mew kemari saat ini adalah agar ia bisa memastikan bahwa Gulf tak akan bisa merusak kerja kerasnya selama ini.

Mew yang mendengar itu entah mengapa merasa marah. Karena memang bukan itu jawaban yang ia cari.

"Jawab aku, Gulf. Jangan bertele-tele. Kenapa begitu pasrah jika itu memang kali pertamamu?" Dingin sekali caranya bertanya. Seakan perasaan Gulf bukan sesuatu yang mesti ia pertimbangkan.

The ActorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang