23

2.2K 154 22
                                    

"Maaf..."

Suara lelah itu lagi. Setengah tahun ini, selalu kata itu yang pertama didengarnya ketika sang cinta pulang ke rumah mereka. Padahal, Gulf sudah luar biasa berterimakasih atas kehidupan indahnya enam bulan belakangan.

Ia berbalik. Makanan yang ibu mertuanya bawa sudah tersusun rapih di atas meja makan. Setelah mendiskusikan dengan sang frienemy, Gulf tau Mew butuh lebih dari sekedar senyum cerah dan kalimat maklum dari bibirnya.

"Kali ini untuk apa?"

Gulf meregang tangan. Mengisyaratkan pada yang lebih tua agar masuk dalam pelukannya.
Maka Mew berjalan gontai, menunjukan bebannya dan berharap pelukan yang ditawarkan mampu meringankan segalanya.

"Ditolak. Masih belum bisa, Gulf."
Elusan pelan dipunggungnya membawa rasa nyaman tak terkira. Maka setelah berkata, helaan nafas yang seakan berisi seluruh bebannya Mew hembuskan.

"Memangnya kenapa jika ditolak, hm? Itu kan bukan tanggungjawabmu, phi."

Elusannya berhenti ketika Mew menjauhkan wajah. Menatap lekat pada wajah Gulf. Mencoba memberi paham, seberapa besar arti perjuangannya ini.

"Tapi aku telah berjanji padamu. Aku benar-benar ingin kita berdua terikat secara resmi, Gulf."

Kali ini Gulf tersenyum hangat. Alih-alih menasehati Mew seperti sebelum-sebelumnya.
Karena setalah berbicara dengan mertuanya, ia mampu mengerti segala yang tersirat dalam kalimat Mew.

Maka wajah tampan itu ia usap dengan lembut. Memastikan, cintanya ini juga mengerti keinginannya.

"Aku juga ingin menikah denganmu. Aku juga sangat ingin meresmikanmu sebagai satu-satunya milikku, phi. Ingin sekali rasanya memamerkan secarik kertas yang menyatakan hubungan kita berdua resmi secara negara.
Aku ingin. Tapi kau, disampingku, selamanya memelukku, itu kebutuhanku. Kau, Mew Suppasit, berjalan bersamaku, menggandeng diriku, memanjakanku.
Itu kebutuhanku."

Mew sempat diam. Namun helaan nafas terdengar juga.

"Aku punya suara yang cukup mampu didengar. Aku hanya menggunakan itu dengan maksimal, Gulf."

"Dan aku bangga akan itu. Aku amat bangga karena kau mau berjuang untuk kita. Untuk hubungan seperti kita.
Tapi kau yang menyalahkan diri karena usulannya belum diterima, itu yang memberatkanku.
Kau telah berusaha semampumu. Dukung mereka dengan segala yang kau punya.
Tapi jika tetap tak disetujui, itu bukan salahmu. Karena kau tak lagi berutang apapun padaku.
Kau itu cintaku, apapun tentangmu akan selalu jadi bahagiaku. Jadi tetaplah begitu, tetap puja aku dengan kata dan sentuhmu.
Jika kau lakukan, aku sempurna, phi Mew.
Aku sempurna bersamamu, Mew Suppasit."

Makian pelan terdengar begitu di akhir kalimat, Gulf menyatukan dahi mereka berdua. Sepertinya, Mew akhirnya mau mengerti kegelisahan Gulf.

"Tapi aku ingin tetap menikahimu."
"Sudah kau lakukan. Jariku sudah bertahta berlian."
Gulf berkata sambil mengangkat telapak kanannya. Mew yang melihat itu lalu tersenyum. Dan tangannya makin erat melilit pinggang Gulf.

"Kau bahagia denganku, phi?"
"Jangan tanya. Denganmu, diriku sempurna."
"Ck. Itu kalimatku. Kau mencurinya."
"Efek kalimatmu amat besar untukku. Hanya ingin berbagi efeknya denganmu."

Mew lalu memberi jarak. Memperhatikan wajah Gulf sebentar, untuk setelahnya membelai pipi pria cantik miliknya.

"Liburan ke Swiss. Mau?"
"Kemanapun denganmu, tentu mau."

.
.
.

"Maksudku liburan berdua. Untuk apa mengajak mereka?"

Wajah Mew mendung seketika begitu melihat dua manusia yang pernah mencintai kekasihnya ini berdiri di gate keberangkatan yang sama dengan mereka.

The ActorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang