Bagian 3

2.5K 275 13
                                    

"Nanti balik tungguin, gue mau ketemu coach dulu."

Fajar mengangguk lantas berbelok ke lorong yang menyatukan gedung kelasnya dengan gedung kelas Senja, meninggalkan pemuda yang kini berjalan berlawanan arah dengannya.

Sekolah SMA yang menaungi kedua saudara itu memang maha luas. Terdiri dari empat gedung utama yang berguna sebagai ruang kelas dan kantor guru. Dua gedung berlantai empat untuk lab-lab praktik, ruang ekstrakurikuler, dan ruang osis. Lapangan upacara, futsal, basket, volly indoor maupun outdoor, serta satu unit gor bulutangkis. Fasilitas kantin yang cukup luas nan nyaman, serta delapan toilet, dua di antaranya milik dewan guru. Dan parkiran bagi mobil dan motor yang di buat terpisah untuk guru dan murid.

Bisa membayangkan seluas apa sekolah itu?

Ketika hendak masuk ke kelasnya langkah Fajar terhenti, kala,

"Fajar!!"

Seorang gadis manis dengan rambut sebahu memanggil namanya. Pemuda itu menoleh, seulas senyum tipis terukir di bibirnya. Fajar melambaikan tangan.

"Hai, Dis!" sapanya.

Gadis yang merasa ternotice oleh sang pujaan hati, tersenyum malu-malu sambil menghampiri Fajar.

"Hai juga. Nih, gue buatin sarapan, khusus untuk lo." Ucap Disty berbisik diakhir kalimat. Gadis itu menyerahkan rinjingnya kepada Fajar.

"Woah, masak apa lo?" tanya Fajar penasaran. Jemarinya hendak membuka resleting rinjing tersebut namun Disty lebih dulu menghentikannya.

"Liatnya nanti aja di kelas," pesan Disty. "Gue balik ke kelas dulu ya, selamat sarapan!" lanjutnya seraya menjauh.

Fajar terkekeh di tempat memperhatikan rinjing makanan yang ada di genggamannya. "Hi hi, baik banget, gue takut ada maunya doang." Pemuda itu mengendikkan bahu lalu masuk ke dalam kelas.

🌼

"WOI JAAA!!! GUE BAWA BERITA BAIK KHUSUS UNTUK LO!"

Baru saja selangkah masuk ke kelasnya, Sajiwa-seorang pemuda tinggi lengkap dengan wajah tampan dan titik hitam di hidungnya itu berteriak heboh kala melihat kedatangan Senja.

Senja menatap datar teman sebangkunya itu, dan memilih berjalan menuju kursinya.

"Berita apaan?" tanyanya setelah menyampirkan tas di sanggahan kursi.

Jiwa menampilkan senyum lima jarinya, kemudian duduk di kursi di sebelah senja. "Duduk dulu gantenggg!" ucapnya sambil menepuk-nepuk kursi itu.

"Najis lo! Buru berita apaan?!" ujar Senja tak sabaran.

Jiwa berdehem sebentar sebelum menatap serius netra pekat milik lawan bicaranya.

Pletak!

"Nggak usah natap begitu, anjing. Ngeri gue!" omel Senja usai menyentil dahi Jiwa hingga menciptakan bunyi nyaring dan pekikan dari pemuda itu.

"Babiiiii!! Sakit, anjing ah Ja!!"

"Alay!"

"Ck. Nggak berperikejiwaan banget lo!"

Jiwa tertawa kecil kemudian sebelah kanannya terayun untuk mengusap dahi Jiwa yang terlihat memerah.

"Sorry, tapi respon lo beneran alay."

"Bacot."

"Dih, ngambek. PMS ya?"

"BANGSAT GUE LELAKI YA!!"

"Yang bilang lo perempuan siapa?"

"Anj- astaga pengen mengumpat terus gue tuh kalau ngomong sama lo."

Senja mengendikkan bahu, lantas memutar posisi tubuhnya menghadap depan. Sekedar bersandar dan memejamkan mata barang semenit sebelum bel masuk berbunyi.

"Ziya pindah sekolah ke sini."

Mata sipit namun tajamnya seumpama belati itu kembali terbuka lebar, ia menoleh ke arah Jiwa yang memang sejak tadi menatapnya.

"Ziya?"

"Maika Ziyani, masa lo lupa? Masa lalu paling indah itu ..." cakap Jiwa dengan intonasi candaan.

"Gue sentil lagi jidat lo sampe benjol mau?"

"Ppfft-Hahahhaa ... ada yang sensi bakal ketemu mantan!!"

Tawa pemuda itu pecah, belasan kata yang rata menggoda sahabatnya ia lontarkan hingga akhirnya sebuah buku tulis melayang dan mendarat tepat di pipinya.

"Aduh!"

"Masih mau ketawa bukan pipi lagi yang kena." Ancaman itu sontak membungkam bibir tipis milik Jiwa. Senja kembali duduk menghadap lurus dan memejamkan matanya.

"Seandainya dia masuk ke kelas kita lo bakal gimana, Ja?"

"Biasa aja."

"Seandainya dia deketin lo lagi?"

"Nggak tau."

"Senja gue tau lo masih belum move on dari Ziya."

Manik legam itu terbuka sebelum ia menoleh ke arah sahabatnya. "Sok tau!"

"Bukan sok tau tapi emang tau! Kenapa sih? Padahal jelas-jelas dia udah nyakitin lo?"

"Nggak tau, Jiwa."

Jiwa menatapnya kian serius. "Lo harus tegas sama diri lo sendiri, Ja." Ucapnya bersungguh-sungguh. "Hitung berapa kali Ziya main di belakang lo pada waktu itu? Masih lo maafin, kan? Hingga hal itu keulang lagi sampai akhirnya kalian putus. Jelas dia sakitin lo, tapi kenapa lo masih stuck dalam bayangan dia? Apa sih istimewanya Ziya?"

"Nggak ada. Oke? Cukup, pembahasan lo bikin gue makin ngantuk."

"Mau ngalihin pembicaraan kan lo?"

"Jiwa..."

Jiwa berdecak, lelaki itu berdiri membuat Senja menatapnya. "Mau kemana?" tanya Senja.

"Nyari minuman dingin." Jiwa menjawabnya penuh penekanan di tiap kalimat. Senja hanya mengangguk dan membiarkan lelaki itu menjauh kemudian dirinya kembali melipat tangan di atas meja dan membenamkan kepalanya.

"Ja!"

"Hmm? Apa lagi?" Senja mendongak menatap Jiwa yang belum sepenuhnya keluar dari kelas.

"Gue cuma mau lo sadar bahwa disekitar lo masih ada orang yang suka sama lo dan pastinya orang itu lebih baik dari Ziya."

Senja mengerutkan dahi, bingung tentu saja mendengar hal tersebut dari temannya. Siapa yang di maksud Jiwa? Apakah temannya itu menyembunyikan sesuatu darinya?

Senja mengalihkan padangannya dari manik Jiwa, hendak kembali berucap namun saat ia kembali mendongak sosok Jiwa sudah tidak ada lagi di sana.

"Lo punya utang cerita ke gue, Wa."

- t b c -

Hai! Gimana TMS sejauh ini? Maaf aku belum sempet balas komen kalian ya ... tapi, aku sangat berterima kasih atas segala bentuk dukungan dari kalian untuk buku ini, semoga TMS masih bisa menghibur meski memang jalan ceritanya di buat sesederhana mungkin. Happy reading ❤

[END] To My Star | HeeJayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang