"Lo tuh kenapa, sih? Selalu aja pake masker tiap hari, gak pengap apa?"
Sebuah tanya buat remaja laki-laki yang sedang memperbaiki tali sepatu sembari berjongkok di depan ruang kelas 12 IPS 1, mengangkat kepala.
"Gue sakit,"
Rotasikan bola mata, si penanya menatap jengah. Jawaban yang diberikan remaja tadi tidak memuaskan rasa penasarannya.
"Gini, deh," melipat tangan di depan dada, ia berdiri tegak tepat di samping remaja laki-laki tadi. "Alasan lo tuh selalu sakit ditiap pelajaran. Dari yang gue denger juga, lo kelas sepuluh udah pake masker, Doy. Sakit apa, sih, sampe harus pake masker tiap hari begitu? Even mapel penjas pun, lo tetep pake masker, gila!"
Tawa pelan jadi balasan atas pertanyaan yang sudah sering ia dapatkan.
Doyoung Pranadipta, nama remaja laki-laki yang memang begitu khas dengan masker hitamnya, kini sudah berdiri, mengalihkan pandang pada sosok teman sekelasnya yang sejak tadi bertanya.
"Sekolah aja gak masalahin perkara masker gue lagi, Hwan." Doyoung mendekat, sekadar mendaratkan telapak tangan pada bahu Junghwan—teman sekelasnya itu. "Gue emang sakit, but I think that a thing you shouldn't know about. Mind your own business, gak usah repot ngurusin gue ya?"
Junghwan membuka mulut, terlebih saat Doyoung tersenyum dan menepuk bahunya dua kali, lalu berlalu pergi dari hadapannya tanpa berucap sepatah kata lagi.
"Wow. Yang dibilang anak-anak ternyata emang bener," menggeleng tak habis pikir, Junghwan tatap punggung remaja itu yang semakin menjauh. "Doyoung Pranadipta emang senyebelin itu,"
Hela napas berat, Junghwan berbalik untuk masuk ke dalam kelas. "Harusnya gue gak ajak ngomong. Makan ati banget, anjir! Ah, tapi gue ketua kelas, sial!"
Mari biarkan Junghwan mendinginkan kepala sejenak, sebab berhadapan dengan sosok Pranadipta memang tidak semudah itu.
Doyoung menghentikan langkah, kepalanya mendongak, menatap langit yang ternyata begitu cerah hari ini.
Lagi, langkahnya membawa ia sampai di taman belakang sekolah. Tempat yang luas dan tertata rapi dengan beberapa kebun bunga yang dirawat oleh Pak Sukri—satpam sekolah.
Doyoung edarkan pandang, mencari satu sosok yang sejak sebulan lalu ia ketahui entitasnya. Ternyata begitu menarik dari apa yang para penghuni sekolah gosipkan.
Sorot tajam remaja laki-laki berumur delapan belas tahun itu meredup, kala netranya berhasil tangkap keberadaan sosok itu.
"Cantik," gumaman pelan terlontar begitu saja dari belah bibir tipisnya, sembari ambil langkah pelan untuk cari tempat yang biasa ia duduki buat menatap objek itu dalam diam.
Mengagumi mahakarya ciptaan Tuhan yang bahkan jauh lebih indah dari hal-hal menakjubkan yang pernah ia temui.
Sosok itu selalu sama. Dengan seragam sekolah yang rapi, rambut ditata terbelah dua–memperlihatkan dahi yang sanggup bikin Doyoung tahan napas satu hari. Enggak, becanda.
Doyoung tahu sosok itu siapa. Dia Yedam, siswa 12 IPA 1, yang gedung kelasnya ada di seberang gedung kelas Doyoung. Dia kebanggaan SMA Tunas Dharma, terlebih buat jurusan IPA dan juga anak OSIS.
Yedam itu ramah, Doyoung bahkan selalu lihat senyum lelaki itu yang tidak pernah luntur ketika sedang berbicara dengan orang lain. Dia juga baik, sering kali menolong siswa lain selagi ia mampu melakukannya.
Yedam Wikantara, tidak bisa Doyoung deskripsikan lagi betapa mengagumkannya sosok itu. Dia bisa terlihat menawan, lucu, tampan, menggemaskan, bahkan berwibawa disaat bersamaan. Maka tidak heran jika siswa Tunas Dharma memilihnya sebagai Ketua OSIS.