Chapter 05

441 37 0
                                    

Nyanyian-nyanyian pengiring upacara penguburan itu dilantunkan bersamaan dengan peti mati kakeknya yang diturunkan secara perlahan ke dalam tanah. Semua yang hadir mengiringi peristirahatan terakhir dari Kakek Elton itu terlihat muram. Mata Olivia bahkan sudah terasa lelah hingga dirinya sudah tidak bisa menangis lagi sekarang. 
 
Kakeknya, Benjamin Elton, di antara semua orang, seseorang yang terakhir kali diharapkan Olivia untuk meninggalkan dunia ini adalah pria tua itu. Pria tua dengan banyak senyum di bibirnya, pria tua yang selalu memberi kebebasan pada Olivia untuk melakukan apa pun, bahkan termasuk dengan pernikahannya. Kakeknya beberapa kali berusaha membantunya untuk terlepas dari jerat ‘pelunas utang’ yang dibebankan oleh keluarga besar mereka padanya, sekalipun pada akhirnya pria tua itu tidak benar-benar berhasil melakukannya. Namun, walau begitu, Olivia tidak akan melupakan usaha pria itu yang berjuang untuk kebebasannya.

Tatapan Olivia teralih pada ibunya yang sejak tadi terlihat tidak bisa membendung kesedihannya. Ibunya mungkin hanya seorang putri menantu untuk Kakek Elton, akan tetapi pria itu begitu berarti untuk wanita itu, karena ia benar-benar memperlakukan ibunya dengan baik, hingga ibunya yang bukan putri kandungnya sendiri bahkan merasa begitu terluka dengan kepergiannya. Yang sebenarnya tidak hanya ibunya... melainkan mereka semua benar-benar terluka dengan kejadian ini.

Rangkaian upacara pemakaman itu selesai pada tengah hari, diiringi dengan rintikan hujan yang seakan turut berduka dengan kepergian kakek kesayangan mereka, Kakek Elton.

“Kau... bujuklah ibumu untuk memakan sesuatu, dia belum melakukannya sejak semalam.”

Bibinya, atau Ibu dari Alice, membisikkan perintah itu padanya segera setelah mereka berhasil sampai ke tempat tinggal kakeknya. Tanpa membantah, Olivia menurut dengan beranjak dari duduknya dan menghampiri ibunya. Ia kemudian mendudukkan dirinya tepat di samping ibunya yang nampaknya masih terbelenggu dengan kesedihan ini.

Olivia bersiap untuk membuka bibirnya, dan melakukan perintah dari bibinya itu, ketika ibunya lebih dulu berbicara padanya.

“Ia terlalu menyukai hidup di pedesaan hingga tidak ingin meninggalkannya, bahkan sampai akhir hayatnya.”

Jika diingat-ingat kembali, seluruh anggota keluarganya sudah meminta kakeknya untuk tinggal bersama mereka dan menghabiskan waktu mereka bersama-sama, mengingat kondisi kakeknya yang sudah begitu tua. Namun, kakeknya itu terlalu keras kepala dengan keinginannya ini, keinginan yang juga dimiliki mendiang neneknya dahulu untuk tinggal di pedesaan yang bagi mereka menyimpan kedamaian yang menenangkan jiwa itu.

“Kakekmu itu... ia memperlakukanku lebih baik dari ayah kandungku sendiri,” ibunya kembali berucap dengan isakkan kecil dalam suaranya.

“Ya Tuhan... mengapa kau harus mengambilnya ketika aku belum memberikan sesuatu yang lebih baik lagi untuknya?”

Sebelah tangan Olivia terangkat, mengusap lembut punggung ibunya, berharap dengan melakukan itu ia bisa memberi kekuatan pada ibunya.

"Seharusnya aku bisa membujuknya untuk tinggal bersama kita."

Ada jeda sebelum ibunya kembali melanjutkan perkataannya.

"Kemudian mimpi itu... tidak seharusnya aku mengabaikannya.” bisik ibunya, kali ini dengan penyesalan yang mendalam dalam suaranya.

Olivia sedikit banyak dapat mengingat bagaimana perbincangan terakhir mereka mengenai hal ini... mengenai ibunya yang menghawatirkan perkataan orang-orang berkaitan dengan mimpi mereka yang berubah menjadi kenyataan... berkaitan dengan mimpi wanita tua itu mengenai kondisi kakeknya yang kemudian ditepis dengan acuhnya oleh Olivia.

“Seharusnya aku segera datang menemuinya, bukannya malah hanya menelepon dan tidak melakukan apa pun. Aku yakin, Tuhan memperingatkanku melalui mimpi itu, tetapi aku malah tidak melakukan apa-apa untuknya.”

How to be a Good WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang