Olivia menggigiti kukunya, merasa resah dan tidak sabaran menunggu seseorang pada saluran teleponnya itu untuk segera mengangkat panggilan darinya. Entah mengapa, rasanya semua ini menjadi membingungkan, apa lagi ketika situasi yang terjadi sekarang berjalan tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya.
Menepuk bibirnya beberapa kali, Olivia seolah menyalahkan salah satu bagian dari tubuhnya itu. Bibirnya ini... mengapa malah mengkhianatinya dan mengatakan sesuatu di luar hal yang seharusnya diucapkannya? Dan mengapa setelahnya ia juga tidak mampu mengatakan sesuatu untuk menolak tawaran yang diajukan pria itu?
Oh, seharusnya Olivia bisa menolaknya, layaknya apa yang dilakukannya sebelumnya ketika menolak ajakan Albern saat ibunya menghasut pria itu untuk kembali berlibur dengannya sehingga selanjutnya mereka dapat menyurutkan rumor tidak sedap mengenai hubungan pernikahan mereka, ataupun juga seperti kejadian yang terjadi di kantor pria itu siang tadi. Namun, saat itu pikirannya seolah membisikkan sesuatu padanya untuk menolak kembali tawaran pria itu dengan alasan supaya dirinya tidak terlihat plin-plan di hadapan suami yang coba dibuatnya terkesan itu.
Oleh karena itu, Olivia akan menanyakan beberapa hal pada seseorang yang coba dipanggilnya ini, sehingga dirinya bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi hari yang akan tiba itu dengan lebih baik.
"Ya?" Sahut suara dalam panggilan itu.
"Vanessa!" Teriaknya tidak bisa menahan diri ketika seseorang yang coba diteleponnya sejak tadi itu akhirnya menjawab panggilannya.
"Olivia? Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" Khawatir Vanessa ketika menemukan Olivia yang menghubunginya dengan kepanikan dalam suaranya, juga pada waktu tengah malam seperti ini. Selain itu, panggilan dari Olivia juga terjadi tidak lama setelah kejadian duka yang dilalui wanita itu baru-baru ini, sehingga Vanessa tidak bisa membendung perasaan cemasnya ketika wanita itu meneleponnya dengan keadaan seperti itu.
"Tidak, tidak terjadi apa-apa, semuanya baik-baik saja. Aku menghubungimu karena ingin menanyakan sesuatu padamu," ujarnya cepat, mencoba menenangkan Vanessa yang tampaknya khawatir dengan panggilan tiba-tiba yang dilakukannya itu.
"Syukurlah jika tidak terjadi sesuatu."
"Maafkan aku karena mengejutkanmu." Ucap Olivia merasa bersalah.
“Tidak apa.”
Vanessa tiba-tiba saja teringat jika ia belum mengatakan hal ini secara langsung pada istri dari keponakannya itu, sehingga ia akan mengatakannya sekarang.
“Olivia... aku turut berduka atas meninggalnya kakekmu.”
“Terima kasih, Vanessa.”
Keheningan sejenak melingkupi mereka. Seakan teringat jika dirinyalah yang memiliki keperluan di sini, Olivia buru-buru membuka suara.
"Hmm... ngomong-ngomong, apa aku mengganggumu? Aku tahu tidak seharusnya aku menghubungimu di tengah malam seperti ini, tetapi aku perlu menyiapkan sesuatu sehingga aku memutuskan untuk menghubungimu sekarang." Jelasnya selanjutnya.
Penjelasan juga kelakuan yang dilakukannya itu mungkin untuk sebagian orang akan terdengar tidak sopan dan terkesan kurang ajar, dilihat dari dirinya yang masih bisa berbicara sesantai dan setidak peduli itu pada bibinya, bibi yang notabenya adalah keluarga kandung dari pihak suaminya, bukannya dirinya, dan dilakukan pada malam yang begitu larut seperti ini.
Namun, hal itu ternyata terlihat berbeda untuk bibi dari Albern ini. Selama ini Vanessa menganggap Olivia lebih dari sekadar istri dari keponakannya, ia sudah menganggap wanita itu sebagai teman bicara, bahkan juga sebagai adiknya sendiri.
"Tidak, kau sama sekali tidak menggangguku. Aku baru saja terbangun dari tidurku dan kebetulan sedang mengambil air di dapur. Jadi, apa yang ingin kau tanyakan, Olivia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
How to be a Good Wife
Romance~Cerita ini original milik saya, mohon untuk tidak memplagiat, menyalin, dan membagikannya ke platform atau tempat baca lainnya. Terima kasih~ Olivia Lancaster selama ini hidup dengan hanya memikirkan dirinya. Ia hidup tanpa benar-benar peduli denga...