Chapter 10

368 34 4
                                    

Setelah semalaman memikirkannya, Olivia masih saja belum berhasil mencerna segala hal yang diterimanya setelah panggilan telepon yang dilakukannya dengan Vanessa. Rasanya pertanyaan dari wanita itu terus berputar di kepalanya, dan kemudian balasan apa yang diberikannya pada wanita itu... bukankah ia sudah mengambil jalan yang benar dengan menjawabnya seperti itu?

"Apa maksudmu kau mulai jatuh hati dengan keponakanku?"

Satu kata yang terpikir olehnya ketika mendengar pertanyaan itu keluar dari bibir Vanessa... Tidak, tentu saja tidak. Selama hidupnya hanya ada piano dan musiknya yang memiliki tempat di hatinya, tidak ada ruang lagi selain untuk hal itu, termasuk juga untuk suaminya sendiri. Namun, ia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Vanessa dan membuat wanita itu benar-benar merasa kecewa padanya. Pada akhirnya ia membuat pilihan yang paling ingin dihindarinya dengan membohongi wanita itu dan mengatakan jika ia mulai merasakan hal itu pada Albern.

Jujur saja, memikirkannya membuatnya merasa bersalah, tetapi bagaimana lagi jika jalannya adalah seperti itu. Namun, dari semua hal yang terjadi semalam, ia merasa begitu tersentuh ketika Vanessa tidak menghakimi hubungannya dengan Albern yang berjalan tidak seperti yang seharusnya, wanita itu malah memberikan respon mengejutkan dengan meminta maaf padanya, sebab dirinya harus melalui semua hal berat ini... menikah di usia yang begitu muda, dengan pengantin pria yang tidak benar-benar dikenalnya selain nama dan status sosialnya, tanpa perasaan apa pun yang mendasarinya.

Olivia tidak pernah membayangkan jika seseorang akan merasa bersalah karena pilihan hidup yang dibuatnya.

"Sepertinya kau perlu membaliknya." Suara Albern yang begitu tiba-tiba itu terdengar di telinganya, menyadarkan sekaligus membuatnya terkejut dibuatnya.

Dengan terburu-buru, Olivia melakukan apa yang dikatakan pria itu dengan membalikkan bacon yang di panggangnya, sementara pria itu meneguk beberapa kali air yang baru saja diambilnya dari lemari pendingin.

Sesekali matanya melirik ke arah pria itu, memperhatikan segala gerakannya, memastikan kalau-kalau pria itu akan pergi dengan tiba-tiba seperti hari kemarin dan melewatkan sarapannya, yang selanjutnya membuatnya kehilangan momen untuk menjalankan rencana yang sudah disusunnya. Sebenarnya Olivia tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kegagalan dari rencananya itu pada Albern, mengingat yang terjadi sesungguhnya, semua kegagalan itu disebabkan oleh dirinya sendiri.

"Kau..." panggil Olivia, berhasil menghentikan pergerakan Albern yang bersiap pergi dari area itu.

"Apa kau ingin sarapan?"

Apa Olivia sudah memulainya dengan benar?

Ketika tidak mendapat balasan apa pun dari Albern, Olivia kembali berujar, "hmm... kebetulan aku membuat banyak sandwich hari ini."

Ya Tuhan, Olivia, apa sulitnya mengatakan jika kau sengaja mempersiapkan sarapan ini khusus untuknya?

Suaminya itu hanya diam menatap padanya, membuatnya merasa salah tingkah dibuatnya. Apa pria itu sedang mencoba menolaknya dengan tidak mengatakan apa pun? Jika begitu, haruskah Olivia mengutarakan hal yang sebenarnya jika dirinya memang sengaja mempersiapkan sarapan ini untuk pria itu? Mungkin saja dengan melakukannya, pria itu akan kembali memakan makanannya seperti apa yang dilakukannya ketika dirinya membawakan makan siang untuk pria itu hari kemarin? Namun, Olivia merasa malu untuk melakukannya.

"A..." Bibirnya sudah akan bergerak ketika terhenti melihat pria itu yang mengambil langkah menuju ke arah meja bar dapur dan mendudukkan dirinya di salah satu kursi di sana.

Tanpa sadar senyuman lebar menghiasi bibirnya. Ia tidak menyangka jika pria itu akan dengan mudahnya menerima tawarannya. "Tunggu sebentar, ini tidak akan lama hingga semuanya siap."

Setelahnya Olivia kembali memfokuskan dirinya pada masakannya, sebelum kemudian menolehkan kepalanya ketika teringat akan hal ini, "kau ingin meminum sesuatu? Kopi? Teh? Air mineral? Atau yang lainnya?"

Ia mengatakannya dengan begitu semangat hingga membuatnya merasa malu dengan pertanyaannya itu.

"Bagaimana denganmu, apa yang kau inginkan?" Tanya Albern selanjutnya, membuat Olivia merasa terkejut.

Sejujurnya, Albern masih tidak mengerti hal apa yang membuat istrinya itu tiba-tiba saja bersikap seperti ini padanya. Dan lagi, jika dipikirkan kembali, jawaban yang dapat ditemui di kepalanya hanyalah kepergian dari kakek wanita itu yang mempengaruhi perilaku tidak biasa dari istrinya ini. Ia tidak akan mencoba memprotes atau melemparkan terlalu banyak pertanyaan pada wanita itu, ia akan mengikuti apa yang dilakukan wanita itu dan menghargai segala hal yang dilakukannya itu.

"Tidak, kau tidak perlu melakukannya." Tolak Olivia cepat ketika melihat Albern mulai bergeser dari posisinya.

"Tetapi kau perlu memasak dan sepertinya akan lebih aman jika kau tetap fokus dengan apa yang kau lakukan."

Rasa-rasanya, Olivia ingin segera mematikan kompor dan mengunci dirinya di dalam kamar untuk menyembunyikan perasaan malunya karena secara tidak langsung, suaminya itu baru saja membicarakan perihal insiden kepulan asap yang memenuhi seluruh sisi dapur mereka hari kemarin, yang tentu saja dengan jelas terjadi karena dirinya.

"Aku akan minum jus jeruk," balas Olivia kemudian membalikkan tubuhnya cepat, menyembunyikan wajah merahnya, sementara pria itu terlihat berjalan santai ke arah rak gelas untuk mempersiapkan minuman mereka.

Pria itu menggulung lengan pakaiannya, membuat Olivia dapat melihat tangan pria itu yang tampak besar nan kekar, dengan jari jemarinya yang panjang. Ia tidak pernah memperhatikan hal itu sebelumnya. Apa pria itu juga berolahraga?

Apa yang kau ketahui tentangnya, Olivia?

"Mengenai liburannya, apa kau sudah menentukan tempatnya?"

Setelah pembicaraan mereka semalam, Albern memberikan kebebasan pada wanita itu untuk menentukan tempat berlibur yang diinginkannya, sebab ia merasa wanita itu akan merasa lebih nyaman ketika dirinya sendirilah yang menentukannya. Lagi pula, apa yang dilakukannya selama ini selalu menyangkut wanita itu, bukankah begitu?

"Hawaii." Jawab Olivia membuat tubuh Albern seketika itu juga membeku. Ingatan akan kejadian di masa lalu yang sudah terkubur lama itu kembali mencuat di kepalanya.

"Aku belum pernah ke sana sebelumnya. Selain itu, aku ingin mendatangi salah satu tempat yang cukup terkenal di sana. Bagaimana menurutmu?"

Olivia menunggu balasan dari pria itu, dan ketika tidak mendapatkannya, ia menolehkan kepalanya untuk melihat ke arah pria itu dan mendapatinya tidak bergeming di tempatnya. Tunggu... apa ia sedang memikirkan tentang tempat itu? Sebelumnya Vanessa mengatakan sesuatu padanya, ketika Albern berusia sekitar sepuluh tahun, pria itu begitu menyukai Hawaii dan pergi ke sana bersama keluarga besarnya. Vanessa bahkan tidak berhenti menceritakan bagaimana Albern terlihat begitu bergembira saat itu. Namun, mengapa respon pria itu terlihat berkebalikan? Pria itu hanya diam dan tidak segera menanggapinya. Apa diamnya pria itu saat ini adalah karena ia sedang membayangkan kesenangan apa yang akan mereka lalui ketika berada di sana? Mungkin kesukaan pria itu sudah benar-benar berubah setelah beranjak dewasa. Oh, tentu saja, siapa yang tidak seperti itu? Apa Olivia masih menyukai barbienya hingga sampai sekarang ini?

"Atau kau ingin pergi ke tempat lain?"

Hawaii. 

Bagi Albern tempat itu bukan hanya sekadar tempat berlibur yang menyuguhkan keindahan saja, tempat itu juga memiliki banyak kenangan yang begitu melekat dalam dirinya... kenangan manis yang meninggalkan bekas pahit setelah mengingatnya.

"Albern?"

Namun, mengapa ia perlu terpengaruh dengan semua itu? Kejadian masa lampau itu seharusnya bisa diatasi olehnya dengan mudah, apa lagi setelah dirinya beranjak dewasa seperti ini. Rasanya terlalu kekanak-kanakan jika ia merasa terluka hanya karena datang ke tempat itu lagi.

 "Mari pergi ke Hawaii."

***


How to be a Good WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang