Semua orang tentu memiliki sebuah kecemasan masing-masing, entah tua atau muda atau bahkan anak-anak sudah memiliki perasaan yang mengganggu di dalam kepala.
Bagi Jeno, kecemasannya datang dari segala arah. Baik dari keluarga, kuliah, serta percintaannya. Jeno tidak pernah merasa tenang, barang sedetik. Rasa cemas selalu bisa menguasainya dan tinggal dalam waktu yang lama.
Meskipun sekarang dirinya terlihat bahagia, bersama Minjeong tentunya, menghabiskan hari Minggu dengan romantis dan penuh tawa tapi di dalam kepalanya kecemasan terus berputar. Kecemasan terus berlarian seperti seseorang yang tengah lari marathon, tapi tanpa ada tanda finish.
Dalam benaknya, ia selalu bertanya pada dirinya sendiri.
Apakah Minjeong akan terus menyayanginya?
Apakah Minjeong akan terus mencintainya seperti sekarang?
Apakah Minjeong akan menerimanya untuk menjadi suaminya kelak?
Apalagi Jeno tidak begitu yakin dirinya mampu lulus tepat waktu. Selain karena ingin menikahi Minjeong, tentu sebagai anak yang berbakti dia juga ingin membuat mamanya bangga. Karena menjadi wisudawan adalah salah satu hal yang bisa ia lakukan untuk membuat mamanya bangga, selama ini.
Tapi tidak dapat dipungkiri, dengan kemampuan Jeno yang sebenarnya tercebur dalam jurusan tersebut ia merasa kesulitan sejak awal semester. Dia memang suka menggambar, tapi tidak dengan hal lain di dalam jurusan teknik sipil itu. Seperti mengukur jalanan, mengetes berat, memilih bahan, belajar membangun, dan masih banyak lagi.
Kembali membicarakan kecemasan, tak hanya Jeno tapi Minjeong juga memilikinya. Keadaan ekonomi keluarganya yang terus membuatnya tertekan, pikirannya penuh, dan bebannya semakin berat. Ditambah ia tidak bisa membantu apapun, selain bekerja paruh waktu yang sesekali ia lakukan jika sempat di sela kuliahnya.
Akhir pekan seperti ini pun ia tidak bisa berkumpul dengan mereka, karena kedua orang tuanya harus pergi keluar kota berkeliling untuk mencari uang, menjajahkan dagangannya dan mengumpulkan uang tersebut berapapun itu.
Terkadang Minjeong merasa tidak menjadi anak yang berbakti, ia merasa menjadi beban serta selalu merepotkan. Sebenarnya perasaan tersebut juga ia rasakan selama berkencan bersama Jeno. Tak sekalipun kekasihnya menolak jika permintaannya, Jeno malah datang menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar cukup.
Mungkin orang lain berkata bahwa Minjeong beruntung memiliki Jeno, tapi di satu sisi di sebuah momen Minjeong juga ingin orang lain melihat Jeno yang beruntung memilikinya. Tapi sekarang, Minjeong masih tak sebanding dengan Jeno dalam hal apapun itu.
Walaupun Jeno sudah memujinya setiap hari, setiap mereka bertemu. Tapi ketika mendengar hal tersebut, bukannya perasaan bahagia dan bangga yang ia rasa melainkan perasaan cemas karena ia memiliki hal buruk sebaliknya. Yang mungkin saja menjadi alasan Jeno akhirnya menyerah dan pergi meninggalkannya
Intinya, hidup Minjeong memang rumit. Semua itu terjadi bukan karena masalahnya yang berat, namun terkait bagaimana cara dia melihat sisi masalah itu, bagaimana cara dia melihat kehidupannya, bagaimana kecemasan merenggut semua logikanya.
Tok..tok..
Mendengar itu Jeno pun bangkit dari duduknya dan berjalan ke dekat pintu, tapi ketika dibuka ia tidak menemukan seorangpun, ia hanya mendapati satu kotak paket dari pos dan sebuah amplop berwarna coklat."Kamu pesen apa?" Tanya Jeno sambil berjalan menghampiri kekasihnya yang tiba-tiba berlari terbirit-birit ke toilet.
"Bentar, aku kebelet pipis" kata Minjeong sambil memegangi perutnya dan berlari menuju toilet rumahnya. Meninggalkan Jeno yang tersenyum melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kopi Tanpa Latte [JENO × WINTER] End💨
FanfictionTANPAMU AKU SEPERTI KOPI TANPA LATTE... TETAP BAIK-BAIK SAJA TAPI PENUH RASA PAHIT YANG MENCEKIK Start:11 Juni 2022