#11 Arti Keterbukaan

71 12 16
                                    

Mungkin maksud Jeno, ia ingin menjadi segalanya bagi Minjeong. Dirinya ingin menjadi bagian yang tidak bisa ditinggalkan oleh Minjeong. Tapi hal tersebut tanpa sadar membuat kekasihnya justru terbebani, dan malah tak nyaman sampai akhirnya semua keluh kesah Minjeong tidak keluar untuknya.

"Terimakasih atas semua perhatian kamu. Tapi, kamu sudah membantuku lebih dari cukup. Jadi bisakah kamu membiarkanku mengatasi masalah ku sendiri?"

"Aku nggak mau nantinya aku bergantung sama kamu. Cukup aku menikmati dicintai oleh seorang Jeno, kalau masalah seperti ini tidak perlu. Aku sudah dewasa, aku bisa mengatasinya sayang"

"Kamu benar, aku bohong soal magang. Aku memang mau cuti dan pergi kerja keluar kota, uangnya ya buat bayar ukt nantinya. Aku udah keterima magang di sebuah tempat les, aku sudah dikontrak satu tahun.  Aku janji tahun depan aku bakal balik, jadi mahasiswi matematika lagi"

"Oh ya, orang tuaku nggak tahu masalah ini. Aku mohon kamu juga jangan kasih tahu mereka ya! Kamu nggak mau kan buat mereka tambah sedih, sudah cukup mereka bekerja keras untuk aku jadi tolong  jangan buat mereka memikirkan hal lain lagi"

"Kamu sayang kan sama aku? Jadi, izinin aku ya buat ngelakuin semuanya sesuai rencana"

Semua ucapan Minjeong hari ini di dengarkan oleh Jeno dengan baik, dengan sadar meski setiap kalimat itu terucap hati Jeno juga ikut bergetar. Dia sebenarnya sedang terkejut, dengan semua yang sudah direncanakan Minjeong. Sedetail dan sejauh itu. Dan Jeno tidak tahu apa-apa hingga detik ini tiba, lalu apakah dia masih dianggap kekasih oleh Minjeong?

Minjeong memang berada di depan matanya, perempuan itu bahkan bisa ia peluk setiap bertemu. Tapi mendengarnya berbicara sekarang, Jeno merasa menjadi orang asing bagi Minjeong. Rasanya jauh, ia sama sekali tidak tahu tentang Minjeong, ia merasa tidak mengenal kekasihnya meski sudah bersama selama tiga tahun.

Lalu apa sekarang? Minjeong meminta izin kepadanya setelah semua ini terjadi? Jika saja Jeno tidak tahu perihal ukt yang tenggat dan cuti, apakah Minjeong akan tetap membicarakan ini dengannya dan meminta izin?. Seperti hari-hari sebelumnya, semua pertanyaan itu hanya berakhir dalam benaknya, berakhir tanpa jawaban.

Jeno meraih tangan kiri kekasihnya, lalu mengelus bagian punggung tangan tersebut.

"Kamu yakin kamu bisa? Kamu yakin bakal baik-baik aja?"

Jujur saja, hati Jeno di penuhi rasa hawatir sekarang. Ia tak bisa membayangkan berada jauh dengan Minjeong, membiarkan perempuan itu hidup sendirian disana.

Meskipun hanya berjarak dua jam, tapi jarak tetaplah jarak, yang pasti cukup melelahkan. Selain itu dunia ini sekarang terasa bebas, semua orang dengan pemikiran mereka masing-masing bisa saja berbuat jahat dimanapun dan kapanpun dan pada siapapun. Tak ada yang menjamin keselamatan Minjeonh, selain ia berada disampingnya.

Tinggal pada satu daerah seperti sekarang saja terkadang dirinya juga hawatir. Memikirkan Minjeong yang sering berada di dalam rumah sendirian membuatnya resah, ia bahkan tak peduli jika perhatiannya membuat Minjeong risih, yang terpenting adalah ia dapat memastikan kekasihnya baik-baik saja.

"Aku temenin ya, kita nanti tinggal bareng jadi aku pulangnya kesana" ujar Jeno dengan dahi yang mengerut, matanya juga masih berkaca-kaca. Terlihat jelas dari raut wajah Jeno yang berat mengizinkan Minjeong untuk pergi.

"Jangan! Capek sayang, nanti kamu sakit.
Bahaya juga pulang larut malam" tolak Minjeong begitu saja, yang sebenarnya memiliki maksud yang sama yakni sikap perhatian.

Jeno kembali menarik napas panjang, "Kamu juga dalam bahaya sayang tinggal sendirian" katanya, dengan mata yang lelah selelah ia menghadapi Minjeong dengan keras kepala itu.

Kopi Tanpa Latte [JENO × WINTER] End💨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang