#13 Kalau Saja

80 18 12
                                    

Waktu terus berjalan, malam semakin menunjukkan gelapnya serta hawa dingin yang menusuk sampai ke dasar pernapasan. Terduduklah kekasih Minjeong di ruang tunggu, di depan ruang operasi dengan lampu berwarna merah lengkap dengan tulisan 'selain petugas, dilarang masuk'. Meskipun tulisan tersebut tidak ada pun, Jeno tak ingin masuk ke dalam sana. Ia tak ingin menyaksikan bagaimana para petugas rumah sakit membedah tubuh mungil Minjeong, setiap sayatan yang ada justru menyayat hatinya juga.

Tangan kanan Jeno masih bergetar, keringat dingin terus bercucuran, lelaki itu duduk dengan perasaan resah dan sedih yang teramat dalam. Air mata yang jatuh pun segera ia usap, tak ingin Jeno menampilkan wajahnya yang basah di depan orang tua Minjeong nantinya yang masih dalam perjalanan. Bukannya ia tak sedih atas apa yang menimpa kekasihnya, tapi ia hanya tak ingin air matanya membuat keruh suasana yang sudah sendu. Ia akan menunggu orang tua Minjeong datang, mencoba menguatkan mereka, ia akan menahan air matanya nanti ketika ia sendirian. Ia akan menumpahkan air matanya bagaikan badai, bagaikan tsunami yang mampu memporak-porandakan sekitarnya.

Dalam kepalanya, Jeno masih terbayang dengan jelas bagaimana keadaan Minjeong. Dimana perempuan yang ia cintai itu dipenuhi oleh luka dan darah, namun bagian terparahnya adalah kepala dan kaki kiri Minjeong. Menurut penjelasan dokter kepala Minjeong bisa mengucurkan darah sebanyak itu karena benturan yang keras, akibat bus yang ia naiki kehilangan keseimbangan sampai membuat Minjeong yang semula duduk pun terjatuh. Sementara kaki kirinya terkena percikan api kemudian terbakar, untungnya tidak lama sehingga tidak begitu parah melukai kulitnya. Namun tetap saja semua luka itu turut menghancurkan hati Jeno.

Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini Jeno merasa bersalah, merasa dirinya lah yang menjadi alasan dari apa yang menimpa Minjeong. Kalau saja Minjeong tidak ke rumahnya, biarkan dirinya saja yang pergi ke rumah kekasihnya itu pasti tidak akan terjadi hal seperti ini. Kalau saja ia datang menjemput kekasihnya, alih-alih membiarkan Minjeong menaiki bus maka tidak akan terjadi hal seperti ini. Kalau saja--kalau saja Jeno bisa melihat masa depan seperti cenayang pasti ia akan mencegah Minjeong pergi ke rumahnya.

Semua pikiran itu terus berputar dalam benak Jeno, meskipun ia juga tahu bahwa pikiran semacam itu tidak boleh. Ia tahu bahwa semua ini garis takdir, tapi ia hanya tak siap menerima atas segala hal buruk apalagi yang menimpa kekasihnya, kalau itu dirinya justru ia tidak apa-apa. Tapi jika Minjeong berada disampingnya sekarang dan mendengar semua perkataannya yang hanya tertahan di dalam pikirannya, pasti perempuan itu mengomelinya dengan wajah imut itu, mengatakan bahwa 'semua yang terjadi pasti ada alasannya'. Meskipun harus melewati jalan yang sulit, namun kira-kira apa alasan Tuhan dari terjadinya musibah ini.

Di dalam ruang operasi, nyawa Minjeong seperti melayang, kematian serta kehidupan bersandingan. Antara setengah persen dari seratus, atau bahkan perbandingannya bisa sangat jauh ke arah kepergian.

Tidak. Jeno tidak ingin pikiran jauh itu hinggap dalam benaknya, tak akan ia biarkan sedetikpun kemungkinan buruk itu tinggal di dalam kepalanya.

"Nak Jeno, Minjeong kenapa? Kenapa bisa begini?" Tanya ibu Minjeong yang akhirnya datang setelah satu jam berlalu.

Melihat wajah kedua orang tua Minjeong yang penuh kehawatiran itu membuat lidah Jeno kelu, ia ingin menjelaskan tapi tidak bisa, lebih tepatnya tidak sanggup. Tadinya ia ingin tidak menangis, tapi melihat wajah mereka mengingatkan dirinya pada paras kekasihnya yang membuatnya tak kuasa menahan tangisnya.

"Maafin Jeno bu, pak" ucap Jeno dengan lirih, bersamaan dengan jatuhnya air mata yang berlinang dan isakannya.

"Kalau saja Minjeong nggak ke rumah saya, pasti sekarang dia baik-baik saja bu, pak" sambung Jeno yang semakin tersedu-sedu, bahkan kedua bola matanya tak dapat terlihat lagi karena telah tertutupi matanya yang mulai sembab, kantung mata yang menampung kesedihanya.

Kopi Tanpa Latte [JENO × WINTER] End💨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang