#14 Hancur Berserakan

90 20 36
                                    

Jeno masih terduduk disana, pada kursi besi rumah sakit terasa dingin dan hampa seperti perasaan yang ia rasakan sekarang. Ponsel lelaki tersebut kemudian menyala bersamaan dengan getarnya, pada layar tersebut ia mendapati pesan dari Eunwoo hyung yang masuk dan tampilan jam yang cukup memenuhi layar--waktu ternyata hampir sampai ke tengah malam, lamanya proses operasi membuat pikiran Jeno kemana-mana, membuat beberapa pikiran buruk hinggap namun secepatnya ia singkirkan juga. Jika sepuluh menit berlalu, ia sudah menghabiskan waktu duduk disana selama tiga jam lamanya--bersama kedua orang tua Minjeong dengan tatapan sendu mereka serta suara rengekan yang lirih dan serak, terdengar masing-masing dari mereka kelelahan dengan keadaan penuh tekanan ini.

Fakta bahwa anaknya masih dioperasi di dalam sana, yang berarti kepastian belum juga datang.

Dengan lemas Jeno kemudian membuka ponselnya, ia membuka pesan dari kakak satu-satunya yang perhatian. Sekalipun Jeno adalah laki-laki, tapi Eunwoo hyung selalu hawatir dengan menanyakan keberadaannya karena ia menganggap larut malam itu bahaya bagi siapapun. Untuk perempuan bahaya bisa datamg dari para pelaku cabul, sedang untuk laki-laki bisa saja perkelahian secara acak menghampiri Jeno dari orang mabuk yang tak terkendali.

Eunwoo hyung: kamu dimana?
Eunwoo hyung: udah hampir jam 12 kok belum pulang

Jeno sebenarnya tidak ingin membalas pesan dari kakaknya, karena ia terlalu lemas sekarang, tenaganya sudah terkuras habis sesuai menangis tadi.

Jenoppa 💚: aku dirumah sakit hyung
Jenoppa 💚: Minjeong, kecelakaan
Eunwoo hyung: ya Tuhan, rumah sakit mana?

Bersamaan dengan itu Jeno melihat kedua orang tua Minjeong berlari melewati tubuhnya, berlari dengan langkah yang lebar mendekat menuju pintu rumah sakit, mata Jeno seketika mengikuti gerak mereka dan pada akhirnya ia juga mengerti dengan tujuan orang tua Minjeong bergegas. Karena ternyata disana berdirilah seorang dokter laki-laki yang tidak cukup tinggi, parasnya juga terlihat hangat dan sikapnya santun ketika ia melepas maskernya dan mulai berbicara.

"Anak bapak dan ibu mengalami gagar otak ringan, tapi anak tersebut cukup mengeluarkan darah yang banyak sehingga proses mendonor darah ke tubuhnya lah yang memakan proses yang panjang. Karena luka dikepala itu, pasca operasi mungkin membutuhkan maximal tiga hari untuk akhirnya anak bapak dan ibu bisa sadar, itupun anak itu tidak dapat melakukan aktivitas seperti dulu. Dia akan kesulitan menggerakkan saraf-sarafnya, seperti duduk, makan, menulis, dan yang lain sehingga harus menjalani terapi agar gerak motoriknya kembali normal. Namun bapak dan ibu jangan hawatir karena saya bisa jamin anak bapak dan ibu bisa kembali normal, ini memang efek samping dari operasi otak yang dijalani anak bapak dan ibu. Bapak dan ibu harus sabar ketika menghadapi anak bapak dan ibu sampai benar-benar sembuh, karena pasti saat proses terapi itu dijalani anak tersebut akan merasa lelah dan putus asa. Lalu untuk luka bakar dikakinya, itu harus diobati secara rutin dengan cairan dari rumah sakit dan cukup memakan proses yang lama sampai lukanya benar-benar sembuh"

"Untuk saat ini anak bapak dan ibu kami rawat di ruang intensif, untuk sementara itu hanya ada satu orang yang boleh menjenguk dan harus memakai pakaian yang sudah disediakan rumah sakit"

Dokter tersebut menjelaskan dengan sangat berhati-hati, detail, dan perlahan. Bahkan beliau juga menggunakan bahasa yang sederhana, alih-alih bahasa kedokteran yang hanya mereka yang paham. Sebagai orang tua dari pasien tentu otak mereka tak ingin mendengar semua teori yang makin memperumit pikiran mereka, sehingga setelah mendengar penjelasan dokter tersebut orang tua Minjeong dapat mengetahui keadaan anaknya yang sudah berada di dalam ruang operasi selama kurang lebih tiga jam.

Dari lamanya waktu berlalu, tentu itu berarti operasi yang Minjeong alami bukanlah operasi yang mudah. Dan orang tua Minjeong hanya bisa mengucapkan terimakasih sambil membungkukkan badan mereka berkali-kali sampai dokter tersebut tak terlihat lagi setelah masuk kembali keruangan terlarang itu. Ucapan terimakasih tak hanya orang tua Minjeong ucapkan kepada dokter, namun tentu tak boleh melupakan keputusan Tuhan yang akhirnya masih memberikan nyawa kepada anak mereka. Meskipun mereka tahu untuk kembali sehat mereka harus menemani anaknya melalui jalan yang panjang, mereka tetap bersyukur, setidaknya mereka masih bisa melihat anaknya dan merawatnya dengan sepenuh hati. Sebagai sarana juga agar rasa bersalah dan penyesalan tidak begitu memenuhi hati, setidaknya Tuhan masih memberikan kesempatan mereka menjadi orang tua yang perhatian dengan dapat disisi Minjeong, dimana sejak SMA keduanya disibukkan oleh kegiatan mencari uang dibanding melihat senyum atau sekedar makan bersama anaknya.

Kopi Tanpa Latte [JENO × WINTER] End💨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang