#5 Bukan Rayuan

107 22 24
                                    

Minjeong...

Meskipun tanpa sadar kita mungkin saling melukai, saling menyakiti. Tapi tetap bertahan ya...

Karena sakit itu adalah obat terbaik dari sakit itu sendiri...

.
.
Rasanya akhir-akhir ini hari berjalan begitu cepat, seolah bumi yang sudah tua ini sudah lelah untuk berputar dengan lambat, sebab dirinya bosan melihat penghuninya sibuk melamun sepanjang hari dan baru bergerak itupun untuk tidur ketika malam datang.

Hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Jeno malam ini, dimana dia dengan kesendirian membentangkan tubuhnya di atas matras olahraga milik Eunwoo hyung. Di atas sana ada banyak sekali bintang, namun diantara sekian banyaknya bintang pasti ada satu yang tampak besar dan paling terang. Jika diibaratkan bintang yang sedang Jeno amati itu adalah Minjeong, siapa lagi cobak.

Minjeong bukan hanya seseorang yang membuatnya merasakan jatuh cinta, tapi dia juga memberikan luka padanya dan setelahnya dia juga bisa mengobati luka tersebut. Susah untuk dijelaskan, tapi pada intinya Jeno ingin tetap bersamanya walaupun sesekali ia merasa pahit. Namun satu-satunya kebahagiaannya ya saat bersama Minjeong, bisa melihat dan menggenggam tangannya sudah memenuhi hatinya.

Sejak papanya meninggal dunia dan mama menikah lagi dengan papanya Eunwoo hyung, hati Jeno seperti mati rasa. Seperti sebuah hutan yang sudah dibabat habis lalu dibakar, yang hanya menyisakan abu dan debu setelahnya. Namun semua cerita berbeda ketika Minjeong hadir dalam hidupnya, menjadi perempuan yang berhasil membuatnya mencinta.

Masih terngiang jelas setiap kata yang keluar dari mulut Minjeong tadi, meskipun hujan seberisik itu tapi tak ada yang dapat menghalangi suara kekasihnya. Sekalipun kata yang dapat terdengar itu yang membuat hati Jeno sakit sampai detik ini, tapi dirinya juga tak tega jika melampiaskan amarahnya sambil melihat wajah sedih kekasihnya.

Sejak pulang dari kencan mereka, Jeno yang masih sakit hati memilih diam seribu bahasa, Minjeong juga tak kalah diamnya, entah apa yang ada di dalam benaknya. Dibawah hujan yang tak kunjung reda, Minjeong terdiam memikirkan dirinya atau laki-laki yang ia sebut sahabat itu. Meskipun kedua tangan serta tubuh perempuan itu memeluknya, membuat mereka dekat satu sama lain, tapi luka karena ucapan Minjeong masih berdenyut perih tiba-tiba. Air hujan yang membasahi juga semakin memperparah keadaan, tidak ada suasana romantis yang Minjeong bilang tadi pagi. Yang ada hanya suasana miris.

"Uwaaaaajjiiimmm!!!" Jeno bersin sekerasnya, sampai membuat tubuhnya menjingkat sepenuhnya.

"Pasti gara-gara kehujanan tadi" gumam Jeno. Yang kemudian tubuhnya dilanda rasa menggigil, dan bagian luarnya sangat panas. Mungkin saja Jeno juga demam.

Lelaki itupun turun dari atap rumah hyungnya untuk pergi ke kamarnya, membaringkan tubuhnya ke tempat yang lebih nyaman dibalik selimut tebal yang hangat.

Sebelum berbaring, Jeno meraih ponselnya terlebih dahulu untuk mengirim pesan ke kekasihnya.

Jenoppa 💚: kamu gapapa habis hujan-hujanan sayang?
Jenoppa 💚: soalnya aku langsung demam dan pilek

Ketika Jeno dilanda sakit, ia langsung teringat keadaan Minjeong. Ia juga hawatir jika kekasihnya mengalami sakit sama dengannya, apalagi perempuan itu sedang sendirian.

Namun tidak ada balasan dari Minjeong, jangankan dibalas, dibaca saja tidak em mungkin belum. Atau dia juga sakit sama seperti Jeno sekarang, sehingga bisa saja dia tidak membalas pesan dari Jeno.

Kopi Tanpa Latte [JENO × WINTER] End💨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang