Sebagai penyuka kopi, Jeno lebih suka rasa originalnya. Dirinya tidak suka lagi jika kopi tersebut dimodifikasi, hingga menyamarkan rasa pahitnya dengan gula, susus, creamee dan semacamnya.
Karena tiap Jeno meminum kopi ada tujuannya.
Selain menekan rasa kantuk yang mengganggunya ketika mengerjakan skripsi, kopi juga ia gunakan sebagai sarana intropeksi diri sendiri. Bahwa hidup tidak selalu seperti susu kental manis, tapi terkadang pahit seperti kopi, juga kadang kecut seperti yogurt, dan asin seperti keju. Hidup ini warna warni, dan sebenarnya kita bisa memilih warna apa yang cocok dengan pelangi yang kita buat.
Kopi juga mengingatkan bahwa kamu hidup pada realita, ketika kamu tengah terbang melambung ke atas langit sambil mengunyah permen kapas yang manis. Hadirnya kopi ditengahnya akan kembali menyadarkanmu, bangun dari mimpi, bangun dari tidur, bangun dari tempat rebahan dan melihat keluar jendela.
Bahwa diluar sana banyak orang yang tak ada henti, untuk selalu berusaha. Sesekali memang seperti dirimu, karena sejatinya manusia juga butuh tidur. Tapi tidak selama itu juga.
Mulai sekarang Jeno bertekad mengerjakan skripsinya, ia menargetkan pada satu hari minimal dia menyentuh skripsinya selama satu jam. Mengerjakan skripsi memang banyak godaannya, apalagi kasur dan ponsel selalu mencoba memanggilnya. Namun Jeno tidak boleh tergoda, ia harus kuat menahannya, satu jam saja berkutat dengan skripsi. Jangan sampai Jeno menambah semester hingga membiarkan dirinya membayar ukt, padahal selama ini dia mendapat beasiswa. Karena Jeno juga tak sekaya itu untuk menghamburkan uang, apalagi akibat kemalasannya sendiri.
Seusai bangkit dari adega rebahannya, Jeno pun keluar kamar untuk berjalan ke dapur. Dia ingin membuat kopi tentunya, kopi hitam khas bapak-bapak, tanpa gula juga. Ini bukan americano, seperti yang setiap hari diminum Jaemin sahabatnya, karena dia tidak sekaya anak tunggal itu. Jeno sudah puas dengan kopi hitam dirumahnya, yang stoknya tidak pernah habis karena memang kakaknya juga suka.
Namun bukannya kopi yang ia temukan, tapi ada Eunwoo hyung yang hendak menyuapkan mie instan dari panci. Melihat ada kakaknya disana, Jeno dengan cepat membalikkan badan untuk sekedar melihat ke arah jam dinding. Jeno tidak salah lihat, ini sudah jam satu pagi.
"Maaf bro. Laper nih malem-malem, habis lembur" kata Eunwoo hyung sambil tersenyum lebar, ia bahkan masih berkemeja lengkap dengan dasi yang rapi, mungkin rambut dan lengannya yang terlihat berantakan.
"Terserah hyung lah, hyung yang kerja, hyung yang beli mienya, hyung yang masak, hyung yang punya rumah" sahut Jeno santai. Karena aneh saja kebiasaan Eunwoo hyung meminta maaf, kadang membuatnya bingung. Padahal yang numpang disini itu Jeno, tapi kenapa dia yang sungkan.
Semenjak kuliah Jeno memang memilih tinggal bersama Eunwoo hyung. Selain karena rumah ini dekat dengan kampus, tinggal jalan juga nyampek. Jeno juga ingin merasa lebih bebas, ingin menjalani masanya menjadi mahasiswa tanpa banyak mata mengawasi. Kalau Eunwoo hyung tidak pernah melarangnya, selagi Jeno jujur mau kemana dan ngapain.
Kalau kamu sampai bohong, berarti yang kamu lakukan itu salah.
Nasehat yang singkat itu langsung mengena, tertancap pada hatinya yang paling dalam. Jeno lebih suka dengan nasehat yang disampaikan dengan lembut, penuh kasih sayang, dan tidak ada kata yang tercela. Tak seperti ketika ibunya mengomeli Jeno sepanjang hari, hanya karena dia hibernasi pada hari Minggu.
Memangnya harus apa?
Kadang Jeno ingin berteriak sekeras mungkin, agar ibunya dengar bahwa dia manusia biasa. Punya hati, punya rasa lelah, punya keinginan juga. Kalau Jeno sudah ingin bersih-bersih, pasti seluruh rumah juga jadi bersih. Kalau Jeno ingin memasak, pasti seluruh rumah berantakan, karena memang dia tidak bisa memasak hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kopi Tanpa Latte [JENO × WINTER] End💨
FanficTANPAMU AKU SEPERTI KOPI TANPA LATTE... TETAP BAIK-BAIK SAJA TAPI PENUH RASA PAHIT YANG MENCEKIK Start:11 Juni 2022