chapter 25

6.7K 823 10
                                    

~Happy Reading













PRANGG!

Irene menatap serpihan kaca di bawahnya datar. Maksud hati ingin menghilangkan perasaan tak mengenakkan yang lagi-lagi datang, seorang pelayan malah dengan cerobohnya menjatuhkan vas bunga di hadapannya.

melihat tubuh pelayan yang bergetar hebat itu, Irene berdecak malas. Pelayan itu terlihat sangat takut akan mendapat hukuman darinya. Tentu saja, Irene biasanya akan memberikan mereka hukuman jika berbuat salah seperti beberapa saat yang lalu, Apalagi sampai merusak barang-barang kesayangannya.

Pelayan itu harusnya bersyukur karena hari ini Irene berbaik hati melepaskannya. Hari ini entah mengapa Irene sama sekali tak berminat melakukan apapun. Ia hanya membutuhkan ketenangan untuk meredakan perasaan menyesakkan yang amat menganggu ini.

"Cepat bersihkan dan pergilah!" Perintah Irene dingin. Dengan tubuh gemetar pelayan tersebut membersihkan serpihan kaca dari vas bunga tersebut, Kemudian meminta maaf dan pamit undur diri.

Selepas kepergian pelayan itu, Irene menyugar rambut panjangnya kasar. Irene tahu, membutuhkan waktu setidaknya empat hari untuk dapat membawa Jerome Kembali ke wilayah kekuasaannya ini.

Namun hari ini tepat satu Minggu terlepas kepergian Ivona. Irene menatap pemandangan dari balik kaca itu datar, Mencoba menerka-nerka alasan yang membuat pengawal terbaiknya itu terlambat menyelesaikan tugas yang di berikannya.

Bukan hanya itu saja yang membuat Irene kesal, Perkataan Juju tempo hari juga sangat menganggunya. Menyinggung perihal suami dan tentang Jerome yang diam-diam menyukainya?

Entahlah, Irene pun bingung akan perasaannya sendiri. Tentunya ia tak membenci pria itu, namun juga tak terlalu menyukainya. Hanya saja, berada di dekat Jerome membuatnya tenang dan terkadang lupa akan segala masalahnya.

Seumur hidup, Irene tak pernah benar-benar mencintai seseorang Bahkan pada orangtuanya sendiri, Jujur saja Irene tak mencintai mereka. Hanya perasaan hormat, tak lebih dan tak kurang.

Sementara dengan Angelina dan Albern, Irene hanya merasa kasihan pada mereka. Tapi kini gadis itu tersadar, setelah di khianati seperti itu, tak ada gunanya ia memberikan belas kasih pada seseorang.

Itulah yang membuat Irene kembali berpegang pada pendapatnya, bahwa hidup sendiri tanpa merasa memiliki sosok berharga akan lebih baik. Dan kini Irene tengah menjalaninya. Namun entah mengapa sisi lain dari dirinya menolak akan pendapat itu.

"Hei, hei hei! Apa yang kau pikirkan hingga membuat ekspresi mengerikan seperti itu?"

Irene berdecak sebal saat suara familiar itu memenuhi Indra pendengarannya. Kini terlihat Juju tengah berjalan santai mendekati dirinya yang tengah terduduk anggun di salah satu sofa yang tersedia di ruang santai ini.

Di sebelah Juju, berdiri Ryder yang kini membungkuk hormat. Irene mengabaikan keberadaan dua makhluk tersebut. Tak tahu mengapa, semakin hari Irene merasa Juju semakin menjengkelkan.

Seingatnya, Juju tak cerewet seperti ini. Kucing itu cenderung malas bahkan hanya untuk sekedar bergerak. Namun apa ini? Juju bahkan sudah pintar menasehati tuannya.

"Tendanganmu tempo hari benar-benar berefek Sampai saat ini" ujar Juju sembari mengusap pantatnya lembut. Ryder menatap kucing tuannya prihatin, sementara Irene melayangkan senyum sinisnya.

"Salah siapa kau membuatku jengkel?"

"Aku hanya mengatakan kenyataan. Pria itu menyukaimu dan kau juga menyukainya. Kau tahu? aku ini kucing dan aku sangat peka"

Irene mendelik mendengar omong kosong yang di lontarkan kucing itu. Bersiap melayangkan tendangan mautnya kembali, namun dengan cepat Ryder menyelamatkan tuannya dan melarikan diri.

-REPEAT-

Akhirnya, saat-saat yang di nantikan Irene pun tiba. Gadis itu mendudukkan dirinya dengan angkuh di kursi kebesarannya, tak lama setelah itu datanglah sosok jangkung yang amat di kenalnya.

"Salam hormat, yang mulia"

"Dimana dia?" Tanya Irene tanpa ingin berbasa-basi.

Sedari tadi, gadis cantik itu tak dapat merasakan aura ataupun mencium aroma Sosok yang menganggu pikirannya akhir-akhir ini.

Tetapi, bukannya menjawab, pengawal wanita yang masih membungkuk hormat itu tak bergeming barang sedikitpun. Tentu saja, itu membuat Irene marah.

"Ivona?" Panggil Irene dengan geraman tertahan, Membuat gadis dengan tubuh kekar itu bergetar takut. Tak tahu harus berkata apa.

Oh ayolah! Bukan ini yang Irene harapkan. Ia telah menunggu cukup lama tetapi pengawal pintarnya itu tak menjalankan perintahnya dengan baik.

"Hei! Aku bertanya padamu!"

Hilang sudah kesabaran Irene. gadis itu merasa terabaikan karena pengawal Ivona sama sekali tak berniat menjawab pertanyaannya. Irene tak suka di abaikan seperti ini.

"Mohon maaf, yang mulia. Tetapi saya tidak bisa membawa tuan Jerome bersama saya"

"Jangan bertele-tele! Cepat katakan intinya!" Teriak Irene tak sabaran.

"tu---tuan Jerome me---meninggal dunia!" Balas Ivona yang seketika membuat Irene terkekeh sinis.

Gadis cantik itu turun dari singgasana nya, Berjalan mendekati pengawalnya yang kini bergetar takut karena aura mengerikan yang mengelilingi tubuh mungilnya.

"Coba ulangi" perintah Irene dingin. Menelan Saliva kasar, Ivona pun dengan terpaksa mengulangi kalimat mengerikan itu.

"Tuan Jerome telah meninggal du---" belum sempat gadis itu menyelesaikan ucapannya, Irene telah lebih dulu menerjang tubuhnya dengan kekuatan anginnya.

BRUK!!

"Sialan! Apa yang kau katakan?! Aku memerintahkanmu pergi untuk menjemputnya! Bukan untuk mengucapkan omong kosong seperti ini!"

Kedua retina mata Irene seketika berubah warna. Ratu Vampir itu menatap nyalang pada Ivona yang kini terbatuk hebat dengan seteguk cairan hijau yang keluar dari mulutnya.

"An--anda bisa memastikannya sendiri, yang mulia. Uhuk-uhuk!"

Tanpa kata Irene pun melesat pergi meninggalkan ruangan itu. Ia harus memastikannya sendiri seperti yang di katakan oleh pengawalnya.

Tidak, Irene tidak ingin mempercayai ucapan Ivona. Irene selalu mengingat-ingat untuk memberi hukuman berat jika gadis itu berani mempermainkannya.

Mana mungkin Jerome meninggal? Irene tak mengerti. Jelas-jelas pria itu terlihat baik-baik saja saat pertemuan terakhir mereka. Tak ingin menunggu lebih lama, Irene pun terbang menggunakan kekuatan anginnya. Melesat dengan kecepatan tinggi.




REPEAT ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang