chapter 26

6.6K 851 12
                                    

~Happy Reading





Tidak! Bukan ini yang Irene harapkan. Irene berharap semua yang terjadi padanya detik ini bukanlah kenyataan.

Beberapa detik yang lalu, ratu vampir cantik itu berhasil mendarat di wilayah kekuasaan manusia dengan selamat sentosa. Lantas, menginjakkan kakinya tepat di teras rumah sederhana yang terasa familiar baginya.

Namun apa ini? Pemandangan pertama yang Irene dapatkan malah Isak tangis memilukan dari dalam sana. Irene menggelengkan kepalanya, masih berusaha berfikir positif semuanya baik-baik saja.

Tanpa permisi Irene melangkah cepat memasuki rumah itu. Berjalan mendekati sumber suara memilukan yang ternyata berasal dari kamar pria yang sangat di kenalinya.

Di sana, tepatnya di atas ranjang berukuran sedang tersebut, Irene dapat melihat wajah Pucat nan tubuh kaku milik Jerome. Irene bahkan mengabaikan mereka yang berada di sekitar pria itu.

Detik itu juga, tubuh pucat Irene menegang.

Irene tak dapat merasakan hembusan napas hangat Jerome. Dada pria itu tak lagi berdetak, Irene tak dapat mendengarnya. Kosong, tak ada tanda-tanda akan adanya kehidupan.

PLAK!

Irene menampar dirinya sendiri kasar, berharap semua ini tak nyata. Irene bingung, gadis itu linglung. Irene tak mengerti akan situasi yang tengah di hadapinya saat ini. Bagi Irene, ini jauh lebih mengerikan di banding meregang nyawa di masa lalu.

"Nona"

Irene mengalihkan pandangannya hingga iris merah darahnya bertubrukan dengan wajah sembab wanita paruh baya yang kini menatapnya senduh.

Seakan tersadar, Irene dengan cepat mendekati wanita yang menjabat sebagai ibu kandung Jerome tersebut.  Tanpa sadar, Irene mencengkeram erat bahu wanita itu hingga membuatnya meringis pelan.

"Bibi, tolong jelaskan apa yang terjadi?" Pinta Irene dengan senyum manisnya. Tetapi bukannya menawan, ia malah terlihat mengerikan.

Irene berharap wanita di hadapannya ini akan mengatakan apa yang sangat ia harapkan, yaitu semua ini bukanlah kenyataan. Namun, ayah Jerome yang sedari tadi mengawasi dan mendapati istrinya bergetar takut dengan cepat menyembunyikan sang istri di balik tubuh tegapnya.

"Paman?" Kali ini Irene beralih menatap pria baru baya di hadapannya. Melihat ibu Jerome yang seperti enggan mengeluarkan suara, Irene berharap besar pada pria di hadapannya ini.

"Jerome---dia sudah pergi"

"Apa? Ke--kenapa?" Tanya Irene tak mengerti, bahkan tanpa sadar suaranya pun terbata-bata dan bergetar.

"Kecelakaan yang menimpanya waktu itu membuat keadaanya semakin parah. Hiks...Jerome memiliki penyakit jantung Yang sama dengan ayahnya...dan akibat penyerangan itu kondisi Jerome semakin memburuk dan berakhir seperti ini. Hiks-hiks...Jerome! Anakku!" (Ngarang yak ges~ ngarang awokawok)

Irene menggeleng kuat, Penjelasan dari ibu Jerome sama sekali tak memuaskannya. Rasanya Irene ingin sekali mencabik-cabik pasangan paruh baya di hadapannya, namun Irene sadar mereka tak bersalah.

Dengan perasaan berkecamuk Irene meninggalkan rumah itu. Ia tak ingin karena kemarahannya malah menewaskan kedua orang tua dari Jerome tersebut.

Tanpa sadar, Irene Kembali mengunjungi tebing Indah yang menampilkan pemandangan laut ini. Tempat yang pernah Irene kunjungi  berdua bersama Jerome waktu itu.

Tak ada yang berubah di sini, semuanya masih terlihat sama, Bahkan bunga-bunga itu terlihat lebih subur dan segar dari terakhir kali Irene melihatnya.

"Hiks..."

Dengan kasar Irene mengelap butiran kristal cantik yang mengalir dari kedua matanya. Gadis itu sempat terkejut beberapa saat kala mendapati dirinya menangis, terlebih menangis dengan di iringi isakan seperti saat ini.

"Hiks...kenapa aku seperti ini? Hiks-hiks! Ada apa denganku? Kenapa rasanya sakit sekali?! Akh!!...ini pasti mimpi kan?! Tolong! Siapapun, ku mohon hiks....katakan ini hanya mimpi!"

Irene tak mengerti mengapa ia bisa mendramatisir seperti ini. Irene tidak ingin menangis, tetapi air matanya terus berjatuhan tanpa aba. Irene jatuh terduduk, Gadis itu menjambak rambut panjangnya kasar, berharap dapat sedikit mengurangi rasa menyesakkan yang menyerangnya.

Di rasa jambakan itu sama sekali tak membantu menyadarkannya, Irene bersiap melayangkan kembali tamparan untuk dirinya sendiri. Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan kekar menghentikan niatnya itu.

Irene mendongak dengan mata sembab, dan pipi serta hidung yang  memerah. Penampilannya benar-benar berantakan. Terlihat jauh berbeda dari Irene De Collins yang biasanya.

Kini, terlihat pemuda tampan dengan Surai putih indahnya. Kulitnya bahkan hampir sama dengan warna rambutnya. Iris mata emas itu membuat Irene tertegun beberapa saat. Ia merasa familiar dengan aroma dan aura ini.

Hanya saja, itu tak bertahan lama. Irene kembali menangis sesenggukan saat mengingat kembali bahwa semua ini bukan mimpi. Tak ada waktu bagi gadis itu untuk merasa bingung mengapa pria bersurai putih ini memeluknya erat.

"Kau keras kepala Irene. Sudah ku katakan bukan? Kau menyukainya. Kau seharusnya percaya padaku"

Di sela-sela Isak tangisnya Irene kini mengerti mengapa ia merasa familiar dengan pria tampan ini. Bahkan suaranya saja dapat langsung menyadarkan Irene bahwa pria yang tengah memeluknya erat saat ini tak lain dan bukan ialah Juju.

Jika saja Irene dalam keadaan normal, dapat di pastikan gadis itu akan melayangkan berbagai macam pertanyaan. Irene pasti akan mengintrogasi kucingnya itu. Ah...tidak, sekarang Juju memiliki rupa lain. Bukan lagi kucing gendut yang menggemaskan, melainkan pria tampan dengan tubuh atletis yang menggoda iman.

"Juju, a---apa yang hiks...harus aku la--lakukan? Hiks" tanya Irene di sela-sela tangisanya. Gadis itu semakin mempererat pelukannya.

Mendengar pertanyaan Irene, Juju pun menyeringai hingga membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat.

"Ingat perkataan ku dulu?" Tanya Juju yang tak di balas apapun oleh Irene. Walau tengah menangis, diam-diam gadis itu berfikir ulang tentang apa yang di maksud Jujunya ini.

"Jika kau ingin, tak ada yang dapat melarangnya. Kau bahkan bisa mengubahnya menjadi bagian yang sama denganmu"

Detik itu juga, retina Semerah darah Irene bergetar. Seakan mendapat kesempatan besar, gadis itu dengan cepat melepaskan pelukannya pada Juju. Lantas, berdiri dan melesat cepat tanpa permisi.

Melihat kepergian Irene, Juju pun menggeleng samar. Pria tampan itu tak habis pikir dengan apa yang di pikirkan oleh majikan cantiknya. Irene bertingkah seakan-akan tak memiliki harapan apapun yang dapat menyelamatkan keadaannya.

"Ha...ayo kita susul dia"

Ryder yang sedari tadi menyimak pun mengangguk patuh. Pria itu dengan sigap mengikuti langkah tegap Juju di hadapannya. Walau masih merasa aneh dengan apa yang Baru saja di lihatnya, pria itu berusaha bersikap profesional seakan tak terjadi apa-apa.






REPEAT ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang