Sepuluh

1 0 0
                                    

Setelah itu Cara menyadari jika langit sudah benar-benar gelap dengan hujan yang masih mengguyur rintik-rintik. Sedangkan Bimo masih memiliki banyak urusan jika dilihat-lihat, maka dari itu ia memilih untuk pamit pulang ke rumah.
Setibanya Cara dipekarangan penginapannya ponselnya berbunyi beberapa kali yang menandakan ada telfon masuk.

“Siapa nih? Nomor asing gini lagi ..”

“Halo .. siapa?” ucap Cara menyambut si penelefon asing yang nomernya tidak ia kenal.

“Cara?”

Deg .. suara ini, suara yang Cara cari beberapa hari belakangan ini. Lelaki yang mampu membuatnya uring-uringan mencari kabarnya kesana kemari di pertemuan randomnya. Tas yang disampirkannya di sisi bahu kiri jatuh ke lantai respon atas keterkejutannya.

“I .. ini Arjuna?” tanyanya kembali memastikan bahwa ia tidak sedang dalam kondisi delusi karena kekurangan istirahat.

“Iya, ini gue Arjuna. Apa kabar?”

“Gue baik-baik aja na, lo apa kabar?” suara Cara yang sebenarnya terisak terdengar ia tahan rapat-rapat agar Arjuna tidak mengetahuinya.

“Gue baik, maaf ya tiba-tiba ninggalin lo tanpa kabar. Lo udah ketemu Bimo temen gue?”

“Udah, dia udah ceritain semua sama gue, na”

Di sisi lain, Arjuna baru saja kembali ke kamarnya usai meminjam handphone milik Anjani. Seharian ini tadi ia disibukkan dengan berbagai macam persiapan untuk menyambut malem suro atau yang biasa dikenal sebagai awal bulan pertama Tahun Baru Jawa.

Biasanya menjelang perayaan, keraton disibukkan dengan berbagai persiapan, diantara lain membuat gunungan yang berisi buah-buahan serta sayuran yang dibuat mengeurucut menyerupai gunung, lalu ada kirab yang merupakan iring-iringan di malam hari, dan masih banyak lagi.

Kedua orang tuanya melibatkan Arjuna dalam seluruh prosesi acara ini, bahkan sebenarnya pun malam ini persiapan masih belum usai. Arjuna seharusnya ikut membantu pada abdi dalem yang lain untuk menghias gunungan, tetapi ia kabur kembali ke kamar untuk menghubungi Cara.

Diakhir sebelum Arjuna menutup telfonnya, ia meyakinkan Cara kembali.”Ra, gue nggak bisa janjiin apa-apa ke lo sekarang, terlalu banyak hal yang lo belum tau. Tapi suatu saat nanti kalau gue berhasil buat nemuin lo setelah semua ini selesai, ah .. gue nggak bisa ngomong di sini. Gue mau ketemu lo ra, jadi tolong tunggu gue dateng.”

“Gue tutup dulu ya ra telfonnya, gue bakal usahain sering telfon lo kok. Tolong kasih kepercayaan lo ke gue ya ra.”

Klik

                                 ****

Sehari menjelang acara persiapan sudah nyaris selesai secara sempurna. Sesaat lagi akan ada pertemuan khusus yang diadakan oleh romo, selaku pemimpin acara ini. Arjuna berada di kamarnya dengan beberapa abdi dalem yang diperintahkan oleh romo membantunya bersiap. Setelan beskap dengan jarik, sandal selop, blangkon, serta keris sudah terpakai rapi dalam badan Arjuna.

“Romo sampun nenggo wonten pangajengan, ndoro”

(Bapak sudah menunggu di depan, tuan)

Anjani baru saja hendak menghampiri Arjuna untuk berjalan beriringan bersama adiknya satu lagi yang bernama Sadewa.

Sultan membuka kembali satu ruangan khusus dimana terdapat banyak foto yang berjejer rapi menghiasi dinding ruangan. Romo mengadakan rapat untuk membahas rangkaian acara bersama para abdi dalem yang lain. Nampak dari kejauhan ada satu foto dimana ia merasa tidak asing dengan latar dari foto itu.

Pikirannya melayang kembali pada kejadian saat pertama kali dirinya dan Cara bertemu. Setiap hari ada rasa kegelisahan dalam dirinya sendiri yang entah mengapa selalu membuatnya ingin cepat-cepat pergi keluar dari sini.

Ia ingin segera mengambil penerbangan untuk ke Bali, bertemu dengan Cara adalah tujuan utamanya mengapa Arjuna menurut tanpa berontak kepada kedua orang tuanya. Sebab jika kalian ingat, pada saat kepulangan Arjuna pertama kali, romo pernah mengatakan bahwa jika ingin perempuan itu selamat maka Arjuna harus mengikuti segala perintahnya dalam masa kurungan kali ini.

Mereka tahu jika Arjuna akan berontak atau mungkin dapat kabur lagi dengan seribu satu cara lain yang telah dipikirkannya. Tapi kembali lagi, Cara yang menjadi ancaman dari mereka. Kedua orang tuanya tidak akan pernah main-main dengan ucapannya, dan Arjuna tidak ingin barangkali sedikit pun mereka menyentuh Cara, mengganggu kehidupan perempuan yang dicintainya.

Berbicara tentang perasaan, Arjuna rasa bahwa perasaan yang ia rasakan sudah sebesar ini. Seperti tangki yang diisi oleh air secara terus menerus, maka suatu saat air itu dapat dengan sendirinya penuh. Ia seperti sudah mengenal Cara sejak lama, mungkin itu mengapa sejak awal bertemu kedekatan mereka mudah terjalin.

Arjuna mengenal dirinya sendiri dengan cukup baik, ia merupakan orang yang tidak mudah untuk dekat dengan orang lain. Sisi introvertnya membuat ia lebih menyukai kesendirian, kebalikan dengan Anjani yang suka berinteraksi dengan orang-orang, hal tersebut membuat Arjuna mudah kelelahan.

“Mas, ada apa?” bisik Anjani yang sedari tadi memerhatikannya.

“Ha? Nggakpapa, mas cuman ngerasa ada yang aneh sama foto di meja itu.” Arjuna menunjuk salah satu diantara beberapa figura di sana.

“Ojo mistis mas, iki ijek awan. Ra lucu!”

(Jangan horror mas, ini masih siang. Nggak lucu!)

“Bukan mistis, mas rasanya kayak deja vu. Paham ora?”

(Paham nggak?)

“Sakkarepmu wae mas”

(Terserah kamu aja mas)

Anjani memilih mengabaikan saudara lelakinya itu karena ia menganggap Arjuna sedang delusi. Dari yang Anjani tahu, foto-foto yang berada di ruanangan ini merupakan foto lama sejak raja-raja sebelumnya, jadi mana mungkin jika Arjuna merasakan déjà vu sedangkan ia sendiri tidak ada kenangan di sana.

“Jadi, besok ndoro Arjuna bersiap di halaman utama pukul delapan pagi ..”

Pak Sudrajat selaku ketua abdi dalem memberi arahan kepada semua orang yang terlibat dalam prosesi acara malem suro besok. Sedangkan ibu memimpin bagian perempuan untuk mengoordinasi dalam pembuatan gunungan. Sayur dan buah baru saja tiba dikirim langsung dari daerah Magelang yang terkenal dengan hasil tani berkualitas bagus.

Pertemuan selesai setelah itu, ibu memanggil Arjuna untuk mengobrol berdua, yang lain sudah berjalan meninggalkan ruangan.

“Le, ibu mau ngomong sama kamu”

“Nggih bu, enten napa?”

(Iya bu, ada apa?)

Ibu memegang kedua tangan Arjuna erat, sesekali mengelusnya untuk menyalurkan perasaan kasih sayang yang dimilikinya sebagai orang tua. “Le, Arjuna anakku. Ibu sama romo besok pesen kamu buat mimpin acara sing nggenah ya le. Jangan kabur-kaburan lagi seperti yang sudah-sudah. Ibu sama romo percaya yen kamu iki bisa mimpin keraton, makane le kenapa kamu dari dulu paling keras dididik sama romo, ya amarga kamu sing bakal nggantike romo besok. Ibu harap kamu ki ngerti maksud romo lan ibu le”

Ibu berharap banyak jika Arjuna tidak akan memberontak lagi dan membuat romo naik pitam. Entah apa jadinya nanti jika ia masih berbuat sedemikian rupa.

“Nggih bu, matur nuwun sampun percoyo kaleh kulo. Kulo nyuwun pangapunten kaleh ibu lan romo, amarga kulo tansah ngeyel” Arjuna berlutut pada kaki ibunya memohon maaf atas perbuatannya yang selalu membuat susah kedua orang tuanya. 

(Iya bu, terima kasih sudah percaya sama aku. Aku minta maaf sama ibu dan bapak karena sering ngeyel)


                                                                        14 Juni 2022

Warm On A Cold NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang