Jaebeom duduk di pinggir kasur kamar hotel dengan sebuah bungkus es di tangan. Wajahnya penuh lebam, sudut bibir robek. Tidak hanya wajah, badannya pun terasa remuk. Pukulan Naoki tidak main-main, seperti tukang pukul saja. Namun sakit di badan dan wajahnya tidak sebanding dengan hatinya yang remuk setiap kali teringat bagaimana Jinyoung memunggunginya dan lebih memilih pergi bersama Naoki.
Pertanda disuruh menyerah? Jika memang harus menyerah, ia sudah melakukannya sejak dulu, bukan sekarang. "Shit!" Jaebeom mengumpat kesal, memukulkan kepalan tangan ke kasur dua kali. Harusnya ia memukul lelaki jepang itu lebih keras lagi.
***
Entah sudah berapa kali wanita bemarga Park itu menghela napas. Pandangannya lurus ke luar; memandang siluet jalanan yang penuh cahaya dan gedung-gedung tinggi pencakar langit dari balkon kamar tidurnya. Ia hanya memakai piyama tidur tipis tanpa jubah, tidak mempedulikan angin malam yang berhembus dingin menerpa kulit putih mulusnya.
Kejadian hari ini di kafe sangat mengganggunya, terlebih sikap dan perkataan Jaebeom. Belum lagi kemarahan Naoki yang sangat beralasan dan wajar. Telapak tangan kanan mengusap wajah manisnya kasar, berharap pikirannya yang kusut akan berkurang.
Bayangan cicin pernikahan yang masih tersemat di jari mantan suaminya masih terekam jelas. Tanpa sadar sebutir cairan bening jatuh dari pelupuk mata indah Jinyoung, membasahi pipi gembil wanita itu. Setetes dua tetes, semakin deras air mata itu mengalir hingga terdengar isakan pilu.
Hatinya yang hancur belum juga pulih, cobaan apa lagi yang diberi hingga ia harus kembali bertemu dengan Jaebeom.
Jinyoung mengusap kasar kedua pipinya yang basah dengan punggung tangan. Ia beranjak masuk ke dalam kamar menuju ranjang untuk mengambil handphonenya yang berada di tengah kasur. Dengan gerakan ragu Jinyoung menghubungi ayahnya. Entah apa yang ia harapkan, kepastian dan kejujuran dari ucapan Jaebeom?
"A-appa..." Napasnya tercekat di tenggorokan, ia terdiam sejenak membuat lelaki tua kesayangannya itu khawatir.
"Jie gwenchana? Apa kau sedang sakit?"
"Aku tidak papa, hanya merindukan appa. Appa apa kabar?"
Jawab dari sang ayah membuat senyumnya sedikit merekah. Perlahan ia memberanikan diri bertanya tentang Youngjae dan Jaebeom. Jawaban yang didapat sungguh menggejutkan.
"Jadi begitu ceritanya. Appa tidak bilang karena kau tidak pernah mau membahasnya. Appa hanya ingin kau bahagia dengan pilihanmu. Terlebih setelah appa mendengar kehidupan rumah tanggamu bersama Jaebeom yang tidak bahagia."
Jinyoung terisak kecil. Ia paham perasaan ayahnya yang marah karena Jaebeom tidak memperlakukan Jinyoung selayaknya seorang istri. Namun, Jinyoung tidak yakin ia memiliki hak untuk marah atas kesalahpahaman yang begitu besar antara dirinya dan Jaebeom.
Masa lalu mereka yang indah hancur lebur karena ulah adiknya sendiri. Siapa yang harus Jinyoung benci? Tidak ada. Sampai detik ini ia menyayangi ibu dan adiknya, terlebih Jaebeom. Perasaan wanita bermarga Park itu tidak pernah berubah sedikitpun.
"Terima kasih appa, aku mencintaimu."
"Appa juga mencintaimu. Jika butuh sesuatu katakanlah. Apapun keputusanmu, appa akan mendukungmu. Dan soal Youngjae, jangan dipikirkan lagi. Appa dan ibu Youngjae akan segera bercerai. Rasanya tidak kuat tinggal bersama orang-orang yang menyakiti anak appa sendiri."
"Tapi appa berjanji akan memulai baru dan memaafkan mereka."
"Appa sudah mencobanya dan ternyata malah menyiksa. Kembalilah ke Korea, Jinyoung. Kembali ke rumah dan beri appa kesempatan untuk memperbaiki kesalahan appa selama ini."
Ia hanya bisa menghela napas pelan mendengar berita menggejutkan itu. Rasa bersalah begitu kuat menyelimuti dirinya. Jinyoung tidak berharap keluarganya berantakan seperti saat ini.
Kepalanya terasa sakit sekali. Ia memutuskan sambungan telepon kemudian merebahkan tubuh lelahnya ke atas ranjang. Kedua kelopak mata itu terpejam, bulir air mata masih mengalir deras dari sudut matanya. Sesak. Itu yang dirasakan saat ini.
Rindu. Iya rindu. Jinyoung tidak munafik dengan menepis rasa terlarang yang kini menghinggapinya. Ia merindukan sosok Jaebeom. Sepertinya lelaki itu kekurangan banyak berat badan. Wajahnya terlihat lebih tirus, dan otot-otot tubuhnya menyusut. Walau tampak jelas Jaebeom berusaha tampil rapi dengan mencukur rambut halus di wajahnya, Jinyoung tetap dapat melihat garis lelah di raut wajah tampan itu.
***
Keesokan paginya Jinyoung kembali dikejutkan dengan kehadiran sosok yang mengusiknya semalaman suntuk. Sosok mantan suaminya yang kini berdiri di depan Cafe miliknya yang belum buka. Sebuket bunga mawar merah besar dalam genggaman lelaki Im itu. Raut wajahnya masih sama kakunya, namun kini dihias senyum getir. Sorot mata Jaebeom tampak gelisah dan gugup.
"Jinyoung," panggil Jaebeom dengan nada suara sedikit serak yang membuat Jinyoung khawatir. Di cuaca sedingin ini, Jaebeom hanya mengenakan baju selapis dan sebuah jaket denim. Wajar saja suaranya serak seperti terserang flu. Luka memar di wajah mantan suaminya itu menambah deretan rasa khawatir Jinyoung.
"Apa oppa tidak tahu sekarang mendekati musim dingin?! Pakaianmu tipis sekali."
Jaebeom menunjukan senyum bodoh, ia memberikan buket bunga pada Jinyoung, membuat wanita cantik itu memutar mata kesal sambil mendengus. Ia membuka pintu Cafe lalu menyuruh Jaebeom masuk tanpa mengambil bunga yang diberikan.
"Bukankah kau suka bunga mawar, Jie?"
"Aku sudah tidak suka bunga, oppa."
"Begitu..." Jaebeom bergumam kecewa, kedua bahunya merosot dan senyum di wajahnya sirna. Percuma ia datang pagi dan menunggu satu jam lebih di cuaca dingin begini. Ia sudah sengaja memakai pakaian sedikit tipis untuk mencari perhatian Jinyoung, ia tahu wanita cantik itu pasti masih mengkhawatirkannya. Ya, anggap saja Jaebeom terlalu percaya diri.
"Tapi karena tidak sopan menolak pemberian orang, aku akan menerimanya," ucap Jinyoung yang merasa tidak enak. Ia mengambil bunga tersebut kemudian meletakkannya ke atas meja kerjanya. Setelah itu Jinyoung menyeduh segelah teh lemon hangat untuk Jaebeom.
"Kenapa oppa ke sini lagi? Aku rasa sudah tidak ada hal yang mengharuskan kita bertemu." Kata Jinyoung secara langsung tanpa basa-basi, membuat lawan bicaranya semakin ciut dan kecewa.
"Karena aku merindukanmu, Jie. Aku mau kita memperbaiki semuanya."
"Tidak ada yang harus diperbaiki. Sejak awal pernikahan kita hanya pura-pura. Aku hanya pengantin pengganti."
Jaebeom memberanikan diri memeluk tubuh Jinyoung. Membuat yang lebih muda diam mematung dan tubuhnya bergetar. Perasaan Jinyoung bercampur aduk. Ia ingin mendorong Jaebeom menjauh, namun di lain sisi ia menginginkan pelukan itu.
"Jinyoung kembalilah padaku. Aku telat menyadari perasaanku sendiri. Aku sedang coba memperbaiki pernikahan kita namun kau tiba-tiba pergi begitu saja. Kau tidak tahu betapa kalut dan takutnya aku saat kau meminta cerah, saat aku melihat cincin pernikahan kita di atas nakas...hiks...aku mencintaimu Jinyoung. Aku hanya mencintaimu seorang." Kata Jaebeom lirih. Ia terisak pelan dalam pelukan wanita yang ia cintai. Meletakkan seluruh harap dan dunianya pada Jinyoungnya.
"S-selama ini kau membenciku oppa. Kau terus menyakiti perasaanku dengan sikap dan kata-katamu...gimana aku mau percaya kalau sekarang kau bilang hal sebaliknya?" Tangis Jinyoung pecah. Tangis yang tak pernah ia tunjukan pada lelaki itu, rasa sakit yang selalu ia telan dan simpan rapat-rapat.
Jaebeom menggeratkan pelukannya, ia takut kehilangan wanita itu lagi. "Berikan aku satu kesempatan untuk membuktikannya, Jie. Aku mohon. Aku akan melakukan apapun." Ucapnya memohon dengan lirih.
Jinyoung mendorong pelan tubuh yang lebih besar darinya itu, memaksa lelaki itu untuk melepaskan tubuhnya.
"Maaf oppa, terlambat. Semua sudah terlambat."
"Jinyoung..."
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be Your Star - JJP (Sequel On Going)
Fanfiction"Jika kamu tidak keberatan, aku hanya ingin seperti ini. Mencintaimu, selamanya." Kalimat itu terucap tanpa ia sadari. Manik matanya telah basah oleh air matanya sendiri. Kalimat yang tidak seharusnya Park Jinyoung ucapkan saat itu, kalimat yang me...