~5~

627 105 67
                                    

Acara resepsi pernikahan yang sangat megah dan mewah. Dekorasi hotel bintang lima terkenal sungguh menakjubkan. Pernikahan yang di impikan oleh semua perempuan. Bak Putri Cinderella dari negri dongeng.

Sepanjang acara pesat, aku harus memasang topeng yang lain, senyum manis nan ramah ke semua orang. Lelaki yang berdiri disamping menemaniku, sejak tadi hanya diam dan tersenyum simpul sesekali ketika berbicara dengan kolega bisnis dan beberapa teman dekatnya-- yang seharusnya juga pernah menjadi temanku. Jackson Wang dan Park Seojoon.

"Aku tidak menyangka Jaebeom malah menikah dengan Jinyoung."

"Mau bagaimana lagi. Jaebeom juga terpaksakan."

"Yang sabar ya Jaebeom. Semoga masalah ini menemukan jalan keluar."

Aku mendengar pembicaraan Jaebeom dengan kedua temannya Irene dan Seulgi. Kedua perempuan cantik itu adalah teman kuliah Jaebeom dulu. Itu yang aku tahu.

Sepertinya Jaebeom memang menceritakaan keadaan kami kepada teman-temannya. Aku tersenyum kecut. Tentu saja ia akan cerita, mereka pasti akan bingung kenapa mempelai wanitanya menjadi aku bukan Youngjae.

Ibu hanya hadir sebentar di acara pernikahanku. Aku mengerti. Ibu mana yang sanggup melihat masa depan anak kesayangannya hancur. Aku sendiri tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi Youngjae jika ia sadar nanti.

Bodoh ya. Aku masih memikirkan masa depan orang lain ketika jelas-jelas masa depanku telah hancur duluan.

Apalagi yang bisa ku pertahankan saat ini?

Terjebak dalam suatu hubungan sakral dengan seorang lelaki yang sama sekali tidak mencintaiku. Bahkan mungkin membenciku.

Bisakah aku melarikan diri dari jerat kehidupan yang akan membawa lebih banyak luka untukku?

Kadang rasanya ingin berteriak keras; ingin marah, ingin menangis, ingin menyalahkan.
Tapi....
Siapa yang bisa disalahkan dalam kasus kesedihan seperti ini?
Toh semua datang tanpa rencana dan alasan. Entahlah...
Aku hanya takut gila.

Detik ini aku sadar. Terkadang lebih baik menjauh dari pada sedekat ini, namun, terasa sangat jauh.

***
Aku melepas gaun pengantinku, membersihkan seluruh riasannya sambil menatap pantulan diriku di cermin. Aku menghembuskan napas berat. Entah sudah keberapa kali aku menghela nafas dan mendesah berat sepanjang hari ini.

Surai hitam panjang ku, aku gerai lalu ku sisir rapi. Aku memakai piyama tidur yang memang sengaja ku bawa dari rumah. Piyama pororo bewarna biru. Kesukaanku.

Aku keluar dari kamar mandi, tanpa melirik ke arah Jaebeom yang duduk di sofa kamar hotel sambil menonton televisi. Ia sudah mengganti pakaiannya dengan kaos putih kebesaran dan celana boxer hitam. Jaebeom juga menghiraukan keberadaanku.

Jika aku langsung naik ke kasur, berbaring dan terlelap. Rasanya sangat sulit. Sakit kepala yang kurasakan sejak tadi pagi pasti tidak akan mengizinkan ku terlelap.

Aku memilih melangkah menuju balkoni kamar, membuka pintu kaca itu lalu menutupnya kembali dengan hati-hati, takut menimbulkan suara yang mengusik Jaebeom.

Lebih baik aku menjadi transparan dan tak terlihat olehnya, dari pada harus terlibat pembicaraan apapun yang malah akan melukai ku semakin banyak.

Aku kembali menghembuskan nafas berat, kepalaku menenggadah menatap langit. Senyum tipis terukir saat pandanganku menangkan sebuah bintang jatuh. Aku memejamkan mataki sebentar. Berdoa.

"Semoga aku kuat dan menemukan kebahagiaanku, Tuhan. Jika memang ini yang terbaik bagiku. Aku akan menjalaninya dengan hati ikhlas. Amin." doaku dalam hati.

Kata orang berdoa ketika ada bintang jatuh, maka doa mu akan terkabul. Ini doa kesekianku saat bintang jatuh. Namun belum terkabul sekalipun. Tidak apa. Aku tetap percaya Tuhan selalu menyediakan yang terbaik buat hamba-NYA.

Pipiku terasa basah, air mata ini tiba-tiba bergulir. Belakangan sering seperti ini. Menangis tiba-tiba tanpa alasan. Apa artinya aku terlalu letih? Mungkin istirahat adalah pilihan yang tepat.

Aku masuk ke dalam kamar. Jaebeom sudah tidak ada di sofa. Sepertinya ia sedang mandi. Terdengar suara air shower.

Ya Tuhan. Pernikahan seperti apa ini? Bahkan tidak ada pembicaraan apapun diantara kami. Sampai kapan? Sampai kapan aku kuat menjalani pernikahan seperti ini.

"Hhhft... Aku butuh tidur." ujarku pelan.

Berbaring di ujung ranjang dengan selimut menggulung menutupi sampai ke dagu. Aku mencoba memejamkan mata.

Aku merasakan pergerakan di ujung ranjang yang lain. Sepertinya Jaebeom naik ke ranjang. Jantungku berdebar tidak karuan-- untuk pertama kalinya kami berada dalam satu ranjang dengan jarak sedekat ini. Jarak yang membuat nafasku tercekat dan darahku berdesir hebat.

"Sudah tidur?"

Kedua kelopak mataku terbuka, tersentak oleh suara beratnya. Namun, tak juga ku bergeming.

"Besok, aku akan menyuruh supir mengantarmu pulang ke rumah. Aku mau ke rumah sakit." lanjutnya lagi.

"Aku bisa pulang sendiri."

"Jangan membantah." suaranya tegas tak terbantahkan. Aku benci.

Gumaman tidak jelas aku lontarkan begitu saja. Terlalu malas untuk melanjutkan debatan apapun dengannya.

***
Pagi hari ku disambut oleh kasur kosong dan sarapan yang sudah terletak di atas nakas pinggir kasur.

"Apa yang kamu harapkan Jinyoung?" dengusku dengan senyum kecut.

***
"Halo, Naoki."

"Jinyoung, aku baru menerima email berisi surat pengunduran dirimu. Kamu tidak sedang bercanda, kan?"

"Maaf Naoki. Terjadi sesuatu yang menggejutkan disini."

"Apapun itu. Kamu bisa selesaikan dan kembali, Jinyoung."

"Aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"....." Aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Naoki akan sangat kecewa. Aku tahu itu.

Selama ini Naoki yang membantu dan menemaniku bahkan sampai aku bisa mendapat pekerjaan impianku. Semua berkat lelaki keturunan Jepang itu.

"Jinyoung." panggilnya lagi menunggu jawabanku.

"Karena aku menikah dan suamiku memintaku menetap di Korea." jawabku dengan suara pelan, namun aku yakin Naoki mendengarnya.

"Menikah?"

"Aku tutup dulu telepon nya, Naoki. Sekali lagi maafkan aku. " aku menutup telepon, menghempaskan ponsel ke sofa tidak jauh dariku duduk.

Ingin sekali menangis sejadi-jadinya. Sungguh semua ini menyesakkan.

Aku butuh sesuatu untuk dipeluk. Tempat untuk menangis sambil berteriak kencang.

Aku memukul dada ku kuat, rasa sesak ini menyakitkan. Sakit yang tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.

Bagaimana cara untuk mengakhiri rasa sakit ini? Mungkin ketika nafas dan nadi ini berhenti. Rasa sakit ini pun akan pergi.

Tbc

Be Your Star - JJP (Sequel On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang