~1~

1.4K 124 49
                                    

Dari hujan aku belajar bahasa air, bagaimana berkali-kali jatuh tanpa sedikitpun mengeluh pada takdir.

Aku mengulurkan telapak tanganku ke luar jendela, membiarkan rintik air hujan membasahinya. Kedua sudut bibirku tertarik membentuk senyum tipis. Aku teringat sebuah kalimat buku yang pernah ku baca; hujan mewakili hati yang terluka, mengiringi rasa yang tersakiti. Rintiknya menyimpan berjuta kata. Derasnya mengarsip beribu makna.

Memang benar. Hujan sedang mewakili perasaan ku saat ini. Goresan - goresan luka yang menyayat hati saat ini tidak membentuk genangan air di pelupuk mata, karena langit telah mewakilinya.

"Park Jinyoung, tutup jendelanya. Hujan nya jadi masuk ke dalam mobil."

Tanpa membantah aku melakukan seperti yang di perintahkan. Sejak kecil, aku tidak pernah membantah ayah sekalipun. Apapun yang ia katakan adalah perintah, walau ia mengucapkan dengan nada lembut.

"Kebiasaan mu masih saja sama. Tinggal lama di Kanada tidak membuatmu berubah sedikitpun."

"Aku harus berubah seperti apa, appa? Aku tetaplah aku." Anak appa yang selalu di nomer duakan dan tidak pernah bisa membantah apapun keinginan kalian.

Kata-kata yang hanya bisa disuarakan oleh isi kepala bukan lidahku.

"Ya. Tetaplah menjadi dirimu, appa senang kamu menjadi anak penurut dan bisa diandalkan."

"Tetap saja Jinyoung tidak bisa menandingi Youngjae. Bersekolah di luar negri tidak membuat nilai-nilai mu lebih baik."

Aku menghela napas pelan, memejamkan kedua kelopak mataku. Mengabaikan ucapan ibu yang memang selalu seperti itu. Membanding-bandingkan ku dengan anak kesayangannya, Park Youngjae.

***
"Unnie."

Pelukan erat yang biasa aku dapatkan darinya setiap kali bertemu. Pelukan hambar yang sebenarnya malas aku balas.

Aku menepuk bahunya sebentar, lalu melepaskan pelukan itu, tersenyum tipis padanya. "Calon pengantin tampak sangat berseri, ya."

"Aku senang unnie pulang. Apakah kali ini akan tinggal lebih lama?"

Aku berjalan masuk ke dalam rumah, membiarkan salah seorang pembantu rumah ku membawa koper milikku ke kamar.

"Sampai hari pernikahanmu. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku terlalu lama."

"Kenapa unnie tidak pindah ke Korea saja. Aku sedih melihat unnie jauh dari rumah. Appa dan eomma selalu merindukanmu."

Kebohongan yang membuatku muak. Siapa yang merindukanku? Adik kecilku terlalu polos atau memang ia bodoh.

Aku malas berbasa basi terlalu lama dengannya. Dia membuatku mengingat kembali rasa sakit yang baru saja disembuhkan oleh hujan tadi.

***
Ruangan kamar ini masih sama seperti lima tahun lalu ketika aku meninggalkannya. Dinding bercat putih dengan wallpaper bulan bintang menghiasi di setiap sudut. Aku tersenyum tipis, beejalan mendekati lemari kaca yang berada di sudut ruangan.

Piagam, piala dan foto-foto lama masih terjejer rapi, bersih tanpa debu. Sepertinya kamar ku memang selalu dibersihkan oleh Bibi Shin.

Pandangan mataku terhenti pada sebuah figuran foto. Senyum ku luntur, rasa sesak dan perih kembali menyeruak di dada.

Aku mengambil figuran foto itu, tanganku meraba sosok lelaki yang berdiri di tengah, diantara aku dan Youngjae. Senyum lebar dengan mata segaris itu terlihat menawan seperti biasa.

Sebulir air mata lolos dari sudut mataku membasahi kaca yang membingkai figuran itu. Aku menghapusnya cepat, kemudian menaruh kembali pada tempatnya.

Aku melepaskan meski sesuatu itu tak pernah ku genggam dengan nyata. Aku melepaskan meski ku tahu semuanya akan sia-sia. Karena jika benar ia nyata, ia akan tetap bersamaku. Bagaimanapun keadaanya.

"Aku selalu suka senyummu. Aku harap alasanmu tersenyum adalah aku."

"Hah? Kamu bilang apa Jinyoung?" tanya lelaki itu. Ia seperti mendengar perempuan itu berbicara, namun tidak mendengarnya jelas karena tatapannya terlalu terfokus pada perempuan lain yang sedang bermain piano di atas panggung sana.

"Tidak oppa. Tidak ada. Aku suka melodi lagunya."

"Aku juga suka. Tapi lebih suka orang yang memainkan tuts-tuts piano itu sih." katanya dengan senyum lebar.

Aku tidak akan pernah menjadi alasannya untuk tersenyum. Aku tahu itu sejak jauh-jauh dulu. Namun, aku selalu berharap.

Harapan semu yang membuatku sulit untuk bernapas setiap kali mengingatnya.

***
Kenapa aku harus terjebak dalam acara makan malam keluarga ini? Suasana dengan pembicaraan hangat yang tidak ada aku di dalamnya.

"Jinyoung, sudah lama tidak bertemu. Kamu bertambah cantik."

Aku mengangkat kepala, tersenyum manis atas pujian yang aku terima. Pujian yang membuat suasana menjadi canggung karena lanjutan dari ucapan pujian itu. "Tidak menyangka Youngjae yang akan menikah dengan Jaebum. Dari dulu, Bibi pikir Jaebum dekatnya dengan Jinyoung."

"Eomma.." suara lembut namun penuh penekanan juga tatapan dinginnya membuat Nyonya Im tertawa kecil. "Eomma hanya bergurau, Jaebum. Youngjae tidak apa, kan?"

Aku diam, melanjutkan makan ku tanpa peduli dengan pembicaraan selanjutnya. Dimana Youngjae tertawa dengan anggun sambil bergelanyut manja di lengan lelaki yang duduk tepat di depanku.

"Aku permisi ke toilet dulu." ujarku sopan, kemudian berlalu pergi.

Tbc

Be Your Star - JJP (Sequel On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang