"Jadi mereka setuju kita pindah?"
"Iya. Aku juga merasa lebih baik kita hanya tinggal berdua."
"Bagus. Tidak perlu membawa apapun. Aku sediakan semuanya."
"Iya oppa."
***
"Kami setuju kalian tinggal bersama, tapi rumah yang eomma beli bukan rumah Jaebeom."
"Untuk apa membeli rumah lagi eomma?!"
"Kalian hanya berdua, jadi tinggal di studio room saja. Ketika kalian memiliki anak kelak, kalian bisa pindah ke rumah yang lebih besar."
"Tidak! Eomma, studio room hanya memiliki satu kamar."
"Lalu?"
Aku menghela napasku, menarik kedua sudut bibirku membentuk senyuman tipis. "Eomma, aku lebih suka rumah yang dibeli Jaebeom oppa. Selain besar, daerahnya juga sangat nyaman. Jika bosan, aku bisa jalan-jalan di Sungai Han. Iya, kan oppa?" aku sengaja meletakkan tanganku di atas paha Jaebeom, menatapnya, berharap ia bereaksi atas pertanyaanku.
Namun lirikan mata tajam pada tanganku yang berada di pahanya, membuatku segera menyingkirkan tangan itu, mengalihkan tatapanku kepada ayah dan ibu mertuaku.
"Tidak ada yang perlu di diskusikan lagi. Jinyoung sudah setuju."
Tentu saja aku setuju. Tinggal berdua dalam rumah kecil dengan satu kamar, membuatku tidak bisa bergerak leluasa. Mungkin untuk bernapas saja akan sangat sesak. Tujuan pindah adalah untuk membebaskan jiwaku yang meronta lirih karena harus tidur seranjang dengan lelaki yang membenciku.
***
Apa yang paling membuatmu sakit--bukan sakit sesungguhnya, lebih seperti sakit batin. Hal yang paling aku takutkan dari semua ini adalah kesehatan mentalku. Belakangan aku sering memikirkan untuk menyakiti diriku sendiri dengan benda-benda tajam yang aku temukan. Setiap kali aku ingin menangis, namun air mata itu tak jua menetes. Setiap kali...Setiap kali aku melihat Jaebeom membawa wanita lain ke rumah dan menginap.
Ya...Entah sejak kapan. Delapan bulan sejak pernikahan kami, dan enam bulan sejak kami memutuskan tinggal berdua. Luka yang ia torehkan semakin tidak meninggalkan jejak apapun yang membuatku harus menangis.
Istri macam apa aku yang tidak bisa melayani suaminya secara jasmani dan rohani? Makanan yang aku masak tidak pernah ia sentuh sama sekali kecuali ketika kedua orang tuanya datang berkunjung.
Jaebeom mulai menghindari pertengkaran dengan kedua orang tuanya dengan menunjukan pernikahan bahagia di depan mereka. Jaebeom yang dingin, cuek, sinis dengan kata-kata sarkasnya akan berubah menjadi suami yang manis, romantis dan menyenangkan di depan kedua orang tuanya. Membuat semua orang percaya bahwa kami baik-baik saja dan semua mimpi buruk itu telah berakhir.
Tidak pernah sekalipun Jaebeom membahas tentang Youngjae, bahkan ia tidak pernah mau mendengar kabar tentang pujaan hatinya itu. Aku heran-- tidak mengerti, permainan apa yang sedang aku lakoni bersamanya.
Pernah sekali keluargaku dan keluarganya berkumpul. Ibu dengan sengaja membahas kondisi kesehatan Youngjae yang mengalami perkembangan, Jaebeom hanya menanggapinya dengan wajah datar tanpa ekspresi apapun. Ia malah sibuk menyuapiku apple pie buatan Nyonya Im.
***
Sungguh aku takut gila di rumah sendirian. Aku lelah menjadi lemah seperti ini. Apa yang sebenarnya aku takutkan? Toh hubunganku dengan Jaebeom sejak dulu memang sudah tidak bisa di perbaiki. Tidak ada yang bisa aku harapkan dan tidak ada yang aku berarti dalam hidupku yang harus aku jaga sampai aku takut menyakiti mereka semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be Your Star - JJP (Sequel On Going)
Fanfiction"Jika kamu tidak keberatan, aku hanya ingin seperti ini. Mencintaimu, selamanya." Kalimat itu terucap tanpa ia sadari. Manik matanya telah basah oleh air matanya sendiri. Kalimat yang tidak seharusnya Park Jinyoung ucapkan saat itu, kalimat yang me...